BHP DISAHKAN, PEMERINTAH JUAL PENDIDIKAN
Posted by
Berandamao
on Saturday, 20 December 2008
Mahalnya anggaran yang mesti dibayar oleh rakyat karena subsidi pemerintah ke kampus sudah berkurang. Model seperti ini dikenal dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), pihak universitas dituntut mencari biaya untuk mengelola pendidikannyaUpaya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya sampai pada tahap akhir. Hari Rabu, (17/12) DPR RI mengadakan rapar paripurna mengesahkan RUU tersebut.
Sehari sebelumnya, aksi mahasiswa Unhas yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Makassar Tolak BHP di depan pintu satu Unhas berakhir dengan bentrokan. Polisi menyerbu mahasiswa hingga ke dalam kampus setelah sebelumnya terjadi aksi saling lempar.
Untung saja tidak ada korban jiwa di antara kedua pihak. Hari Rabu (12/12) mahasiswa kembali turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap pengesahan RUU BHP tersebut. Begitu pula dengan sejumlah mahasiswa di Jakarta yang menggelar aksi penolakan di depan pintu gerbang DPR RI.
Apa yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan bentuk kekecewaan terhadap kebijakan Presiden SBY yang tidak memiliki itikad baik memajukan dunia pendidikan.
Martin Cornoy (1982) beranggapan jika negara memiliki peran dalam setiap kebijakan pendidikan dan merupakan hal terpenting dalam kehidupan berbangsa. Narasi membangun pendidikan yang dicanangkan sejak tahun 1971 rupanya tak mampu mengangkat derajat bangsa ini.
Alih-alih untuk keluar dari persoalan bangsa, persoalan pendidikan makin menumpuk saja. Ibaratnya bola salju, masalah datang silih berganti dan tak pernah selesai.
Semangat membangun pendidikan sebagai pondasi bangsa ini telah dimulai oleh tokoh bangsa ini di masa lalu. Bapak Bangsa, Ir Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara telah merintis jalan agar bangsa ini keluar dari penjajahan yang dilakukan bangsa asing.
Fase perlawanan terhadap kolonialisme menjadi bagian penting untuk keluar dari keterpurukan. Olehnya itu, bangsa ini memerlukan manusia-manusia yang cakap dan mampu bersuara terhadap setiap penjajahan. Salah satu jalan yang ditempuh adalah memperbaiki sumber daya anak bangsa melalui pendidikan.
Masih jelas dalam benak kita, dahulu para pemuda berupaya menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda, atau pun berangkat ke luar negeri. Dengan harapan setelah kembali mampu membangun dan mengeluarkan negeri ini dari cengkraman penjajah.
Tanda Tanya
Jadi, pendidikan memang merupakan satu bidang yang paling penting dalam mengeluarkan negeri ini dari keterpurukan, memajukan dan mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa. Mungkin saja negeri ini tak akan pernah merdeka dan keluar dari penjajahan kolonialisme jika tak dipimpin oleh tokoh yang memang telah terdidik.
Begitulah sejatinya pendidikan, menciptakan manusia yang berkualitas, humanis, bermoral dan mampu mengangkat citra bangsa ini. Sementara itu, negara memiliki tanggung jawab melahirkan generasi yang handal.
Dengan kata lain, negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 45. Sama halnya dengan pasal 31 UUD 45, pendidikan sejati adalah hak setiap warga negara dari Sabang sampai Merauke dan pemerintah wajib membiayainya. Membayangkan anak negeri ini menikmati pendidikan yang layak merupakan sebuah mimpi yang sempurna. Lahirnya manusia-manusia yang cendekia, intelektual, kritis dan memiliki kualitas pengetahuan mungkin hanya sebatas mimpi.
Pasalnya pemerintah sebagai pengelola negara sepertinya tak pernah serius mengurus dunia pendidikan. Setiap saat, siaran televisi memberitakan gedung sekolah yang hancur ataupun roboh.
Bagaimana dengan penduduk yang tinggal di wilayah kepulauan ataupun pelosok desa. Sehari-hari mereka kehilangan guru. Jarak yang jauh membuat pemerintah enggan mengurus anak bangsanya. Keberpihakan pemerintah terhadap memajukan pendidikan masih tanda tanya besar. Misalnya saja, persoalan anggaran pendidikan. Alokasi biaya pendidikan APBN Indonesia mestinya 20 persen sesuai amanat UUD 1945 ternyata hanya sebesar 7,9 persen sedangkan negara lain seperti Thailand (20,1 persen), Iran (17,8 persen), Filipina (15,7 persen), Malaysia (15,4 persen) Cina (12,2 persen), dan Srilanka (8,9 persen).
Bahkan, negara dunia ketiga yang senasib dengan Indonesia seperti Kuba, Venezuela, dan Bolivia berani untuk menggratiskan biaya pendidikan bagi rakyatnya. Amat berbeda dengan negeri ini yang malah pendidikannya dibayar mahal.
Realitas hari ini pun makin menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih untuk menandatangani General Agreementon Trade in Services (GATS) pada perjanjian Organisation World Trade (WTO). Sebuah perjanjian yang berupaya menghilangkan peran negara terhadap bidang jasa, salah satunya adalah pendidikan.
Melainkan memberikan peran terhadap setiap warga negara membiayai pendidikannya. Inilah awal dari skenario pemerintah menjual pendidikan.
Beranjak dari persoalan tersebut, sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa pendidikan kini telah menjadi barang yang bisa diperjualbelikan. Sementara pemerintah secara perlahan-lahan berupaya melepaskan tanggung awab terhadap dunia pendidikan dan menyerahkan ke pihak swasta.
Jika demikian, dapat kita katakan bahwa pendidikan juga akan terkait dengan kepentingan-kepentingan politik, ekonomi para pemegang kekuasaan negara.
Jauh hari sebelumnya, Paulo Freire telah mengingatkan jika pendidikan merupakan proses pembebasan bagi negara dunia ketiga dari keterkungkungan kapitalisme. Namun, hal itu tidak berlaku bagi negeri ini.
Pendidikan yang memanusiakan manusia berubah menjadi pendidikan yang berorientasi kepada pasar dan kepentingan pemodal. Cengkraman kapitalisme global yang tak mampu dibendung membuat pemerintah tak bisa berbuat banyak.
Apalagi Political will pemerintah memang tak jelas menangani dunia pendidikan, hal inilah yang semakin membuat kita prihatin terhadap keseriusan pemerintah memperbaiki pendidikan Pada kondisi seperti ini mestinya biaya pendidikan tidak lagi dibebankan kepada rakyat. Pasalnya, krisis ekonomi yang terjadi membuat jumlah rakyat miskin menjadi semakin bertambah.
Bank Dunia merilis penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6 persen dari jumlah penduduk 236,4 juta jiwa pada tahun 2007. Rakyat dibuat semakin tak berdaya.
Apalagi diperparah dengan semakin tingginya harga jual kursi jika masuk ke sebuah universitas ternama. Perguruan tinggi negeri semisal UI, UGM, ITB, IPB, mewajibkan setiap calon mahasiswa membayar sejumlah biaya pengelolaan kampus, mulai dari Rp 25 juta sampai Rp 125 juta. Bahkan, bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM bisa mencapai Rp 300 - Rp 400 juta per kursi.
Mahalnya anggaran yang mesti dibayar oleh rakyat tersebut karena subsidi pemerintah ke kampus sudah berkurang. Model seperti ini dikenal dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dimana pihak universitas dituntut mencari biaya untuk mengelola pendidikannya.
Tak berhenti sampai di situ, rencana perubahan BHMN menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) semakin memperkuat keinginan pemerintah meliberalisasi pendidikan. Inilah yang kemudian membuat universitas negeri juga berlomba-lomba melakukan transisi menuju BHP.
Dengan asumsi jika subsidi pemerintah tak ada lagi, pendapatan universitas bisa diambil dari masyarakat. Kondisi ini menuntut pimpinan universitas melego kursi hingga ratusan juta rupiah.
Ini bukan lagi isu, fakta yang terjadi di lapangan membuat pemerhati bangsa ini mesti berpikir untuk mencegah liberalisasi pendidikan ini. Hal ini kemudian didukung oleh kebijakan pemerintah yang mensyahkan peraturan presiden nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal.
Dalam pepres tersebut nampak secara jelas jika pendidikan merupakan jenis bidang usaha yang terbuka untuk investasi modal asing dengan ketentuan kepemilikan modal asing sampai 49 persen. Mungkin pemerintah memang bersikap inlander (budak kekuasaan) yang berselingkuh dengan kapitalisme.
Persoalan pendidikan mahal tak hanya terjadi pada setiap perguruan tinggi saja. Melainkan telah merambah dunia siswa (SD, SMP, SMA). Pihak sekolah juga membebankan biaya kepada masyarakat. Dengan dalih untuk perawatan gedung, seragam sekolah, buku pelajaran, hingga uang perpisahan.
Secara nyata memang tidak terlihat jelas, namun modusnya diperhalus dengan meminta kerelaan orang tua memberi sumbangan pada sekolah. Tentunya dengan standar minimal. Pada kondisi ini orang tua akan merasa bimbang. Pasalnya jika tidak dibayar, kemungkinan anaknya susah untuk diterima. Sebab, yang paling tinggi memberikan sumbangan akan diprioritaskan.
Lalu bagaimana nasib anak miskin mengeyam pendidikan. Sementara mereka tak mampu membayar tingginya biaya di sekolah negeri. Apalagi sekolah yang memang berlabel swasta. Di lain pihak rendahnya alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan membuat sengsara 100 juta rakyat miskin di negeri ini. Yang paling membuat kecewa, ketika alokasi anggaran yang sedikit itu mengalami kebocoran. Dalam artian dikorupsi sendiri oleh pemerintah. Itulah potret pendidikan kita hari ini.
1 comments:
tindakan merupan usaha
tanpa tindakan tak akan ada respon
hati tidak bisa berbicara langsung
tapi aksi adalah wakil yang palimg sempurna untuk menyalurkan kata hati
hidup perjuangan.....
aksi trus sampai mati
perjuanagan tak akan berakhir dengan kekosongan
Post a Comment
ISI APA ADANYA