ORMAS ISLAM: BUBARKAN AHMADIYAH


Gabungan organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) islam mendatangi Kantor DPRD Sulawesi Selatan (SulSel), Selasa, (01/03).Mereka menuntut agar Ahmadiyah yang ada di Sulsel dibubarkan. Hal tersebut diambil karena di beberapa daerah seperti Sumtera Barat, Banten dan Jawa Tmur, Ahmadiyah sudah dibubarkan dan dilarang melakukan aktivitas.
Berangkat dari beberapa daerah yang telah melarang Ahmadiyah beraktivitas, gabungan ormas yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) itu meminta DPRD Sulsel mengeluarkan peraturan daerah pembubaran Ahmadiyah.

Sekretaris Jenderal FUI Sulsel HM Siradjuddin, yang menjadi orator mengatakan bahwa kelompok Ahmadiyah termasuk aliran sesat yang sudah dilarang beraktivitas oleh MUI sejak 1980. Kemudian ditegaskan kembali 2005. Juga 1974 Lembaga Muslim Dunia mengeluarkan fatwa tenang kesesatan Ahmadiyah.



Siradjuddin juga mendesak presiden Sby segera mengelarkan keputusan tentang pembubaran Ahmadiyah.” Dengan jalan ini, persoalan Ahmadiyah dapat selesai dengan tuntas dan menutup pintu terjadinya bentrokan,” pungkasnya. Ia juga menjelaskan jika konflik yang terjadi belakangan ini karena lambannya presiden SBY mengambil keputusan. Hal tersebut membuat warga mengambil jalan sendiri dalam penyelesaian kasus Ahmadiyah.

FUI memilih memakai jalur DPRD untuk penyelesaian Ahmadiyah. Sebab mereka masih percaya jalur itu. Namun jika tuntutan mereka tak direspon, maka bisa dipastikan warga akan bertindak sendiri. Seperti yang diungkapkan KH Herli, perwakilan FPI tersebut menyerukan akan membakar masjid Ahmadiyah jika masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut. “ Kalau tetap dibiarkan, kami akan bakar masjid mereka,“ tegasnya disambut takbir dari perwakilan pengunjukrasa.

Habib Reza, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Sulsel juga mengungkapkan jika ia siap mewakafkan dirinya demi pembubaran Ahmadiyah. Pasalnya Sulsel adalah daerah religius yang menghasilkan ulama besar seperti Syeh Yusuf. “ Sebelum kekuatan umat bergerak, kami minta Ahmadiyah segera dibubarkan,” tegasnya.

Beberap hari sebelumnya, FUI mengadakan rapat yang diikuti 58 orang dari 18 organisasi islam. berdasarkan pertemuan yang diikuti 58 orang dari 18 organisasi Islam di Sulsel mendesak agar pemerintah pusat mengeluarkan kepres dan pemerintah daerah mengeluarkan perda pembubaran Ahmadiyah.

Hoist Bahtiar, anggota DPRD Sulsel yang menerima aspirasi FUI mengatakan pihaknya siap menyampaikan aspirasi umat kepada pimpinan DPRD dan gubernur. Sementara itu, Amir Uskara, Ketua Umum PPP mengaku akan mendorong gubernur mengeluarkan peraturan gubernur untuk organisasi terlarang seperti Ahmadiyah.

Sebanyak 18 organisasi Islam yang tergabung dalam FUI adalah, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Darul Da'wah Al Islami (DDI) AD, Hidayatullah, Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Wahdah Islamiyah, DDII, PMS, PUI, PII, IMM, BKMT, Majelis Mujahidin dan FPPU.








AKSI ANARKISME DI MAKASSAR BY ORDER


Aksi unjuk rasa di Makassar yang seringkali berujung pada aksi anarkis dan bentrokan, faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya aksi anarkis, peran media dan adanya pihak lain yang menjadi provokator atau peran polisi yang represif sebaga pemicu bentrokan dibincangkan seluruh Badan Eeksekutif Mahasiswa (BEM) se Makassar di Universitas Negeri Makassar (UNM), Selasa, (08/03).
Kapolda Sulawesi Selatan (Sul Sel), Irjen Polisi Johny Waenal Usman mengatakan, kegiatan unjuk rasa merupakan salah satu jalan untuk menyampaikan aspirasi. Tapi dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Ketika ada aksi yang mulai menunjukkan tanda- tanda bakal berujung anarkis, polisi akan mengambil langkah dengan memberi peringatan pada peserta aksi, pimpinan, atau menghentikan kegiatan unjuk rasa.


"Bisa juga dengan pembubaran, penangkapan, penahanan dan menyita barang bukti," tuturnya di depan para mahasiswa Makassar.
Kapolda menambahkan, aksi yang anarkis sebenarnya terjadi karena kurangnya pemahaman mahasiswa, juga akan merugikan mahasiswa sendiri. Pasalnya, simpati masyarakat akan berkurang. Sementara mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa mengatasnamakan kepentingan publik dan meperjuangkan hak-hak rakyat.
Pendapat berbeda diungkapkan Koordinator Kontras Sulawesi, Suaib yang menilai penanganan polisi dalam setiap aksi unjuk rasa memang terlalu berlebihan. Bisa dibuktikan dengan banyaknya protap yang dikeluarkan oleh instansi kepolisian. Terkait dengan aksi anarkisme massa, hal tersebut masih diperdebatkan.
"Ada penafsiran sendiri dari pihak polisi dalam penanganan aksi unjuk rasa, padahal ada prosedur yang mengatur," tuturnya.
Suaib juga mengungkapkan kekhawatirannya dengan adanya Prosedur Tetap (Protap) tembak ditempat bagi pesera aksi anarkis yang dikeluarkan oleh polisi bisa disalahgunakan.
Sementara itu, Ketua BEM UNM, Bahtiar mengaku, pada setiap aksi unjuk rasa mahasiswa tak ingin berakhir dengan ricuh atau bentrokan. Ketika berdemo, mahasiswa selalu dianggap salah mengganggu keamanan.
"Padahal kami hanya memperjuangkan saudara kami, tukang becak orang tua kami yang petani," ujarnya.
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan jika selama ini mahasiswa tak ingin berhadapan dengan polisi, apalagi sampai bentrok dengan polisi. "Kami juga sedih melihat bentrokan yang kerap terjadi,” pungkasnya.
Berbeda dengan Bahtiar, Aktivis HMI Sulselbar, La Ode Munandar mengaku kecewa dengan aksi unjuk rasa dan penangannya di Makassar. La ode meihat aksi yang terjadi merupakan orderan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Ia menyalahkan pihak polisi yang tak profesional dalam menangani aksi unjuk rasa. Apalagi hanya menangkap pelaku di jalanan.
"Mengapa pelaku yang merencanakan aksi tak ditangkap dan memutus mata rantainya," tukasnya dengan nada berapi-api
 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic