SAJAK YANG TAK PERNAH SAMPAI

Seperti selalu kubilang
serasa ada yang pergi dibawa angin

tak ada pesan
apatah lagi jejak

di sudut jalan
kita hanya bisa diam
memandangi senja yang tak lagi ramah

makassar, 29 juni 08

SUATU PAGI DI PASAR KAGET


Sejak pukul lima subuh hari, jalan Dr. J. Leimena, Tello Baru, wilayah Kecamatan Panakukang nampak mulai dipenuhi pedagang kecil. Orang Makassar biasa menyebutnya Pa’gandeng. Jualan mereka tak lebih dari sayuran, pisang, jagung, umbi-umbian dan ikan. Setiap pagi, aktivitas di pasar kaget ini selalu ramai. Sekitar pukul 06.30 wita, tenggat waktu berjualan di tempat itu telah habis, satu persatu pa’gandeng ini pun pergi mencari lokasi jualan baru atau keliling kota dengan sepeda. Soalnya, jika tetap bertahan, polisi akan mengusir para pedagang ini.

Pedagang kecil yang menjual di pasar kaget ini ternyata bukan masyarakat yang bermukim sekitar wilayah Tello, Makassar. Mereka (prdagang, red) jauh-jauh datang dari Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa. Ini tak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Di pasar ini, duit hasil jualan sayur bisa sampai Rp 60 ribu. Sayur yang tak laku pun digandeng keliling kota Makassar. Keuntungan yang diterima setiap hari berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu. “Itu pun jika semuanya laku terjual,” ujar Daeng…..

Pagi itu, saya berada diantara mereka. Mereka nampak bahagia jika jualannya ada yang laku. Namun, suasana jadi lain jika pembeli tak jadi mengambil jualannya. Tingkah mereka beracam-macam, ada yang amat semangat menawarkan jualannya, ada juga yang hanya duduk termenung, menikmati sebatang rokok menunggu ada yang mau melirik dagangannya.

Potret pedagang kecil ini hanya sebagian kecil dari kaum urban yang mencari kehidupan di Kota Makassar. Karena tuntutan hidup, sejak pukul tiga dinihari mereka rela menempuh puluhan kilometer dengan sepeda tua. Waktu yang biasanya sebagian besar orang gunakan untuk istirahat. Pun saat matahari mulai beranjak naik di ufuk timur mereka mesti menggulung tikar. Karena jika tidak, petugas akan memaksa mereka meninggalkan tempat itu. (p!)

BERDAMAI DENGAN LUKA



Untuk kedua kalinya aku mendengar serpihan kalimat itu. Pertama beberapa hari yang lalu saat seorang teman sedang asyik berbicara dengan seorang wartawan di kota ini. Kedua, sore tadi saat senja mulai menuruni langit dan hilang ditelan rindangnya pepohonan kampus.

Entah apa yang terjadi pada temanku ini.
Tak seperti biasa ia datang lebih sore. Biasanya ia datang saat malam mulai beranjak. Saat kudapati Begitu pulas ia tidur di ruang tengah. Aku tak berani membangunkannya. Sepertinya ia sedang melepas lelah yang selalu menghampirinya.

Semalam saat terakhir bertemu, ia sempat berujar jika akan mengisi materi pengkaderan di Himpunan mahasiswa islam. Hal ini diperkuat dengan baju yang ia pakai. Corak bertulis HMI dan berwarna hitam dengan motif warna hijau.


Biasanya ia terlihat ceria dan bahagia.
Namun kali ini kulihat ia demikian kalah. Untuk kedua kalinya kehilangan handphone; ”Nmpaknya kebiasaannya belum bisa hilang dari mental orang agraris; tak bisa menjaga perabotan teknologi, ” itu kata kakak senior Tyang juga wartawan di trans TV.Menjelang magrib, ia pulang ke pondokan yang jaraknya sekitar 1 km. Di dekat tangga identitas aku mendapatinya memandangi gedung rektorat Unhas yang menjulang angkuh dan sombong. Seperti sebagian besar para punggawa yang mendiami gedung itu. ” sepertinya kita memang mesti sering berdamai dengan luka,” ujarnya dengan wajah lesu.

kawan, kadang-kadang kita mesti menyisihkan ruang dalam dada ini untuk sedikit luka. Dan berdamai dengan luka merupakan hal yang biasa. Bukan sesuatu yang luar biasa. Sebab semua manusia juga mengalami hal yang sama. Mungkin kadarnya yang berbeda. Ada yang berat, ada pula yang ringan.

Meski begitu,aku tetap kawanmu. Yang selalu ada jika saja ada hal yang membuat hari-hari indah terbengkalai dengan hal-hal yang tak terduga. Atau sekadar berbagi luka..

Meski begitu,,saya slalu ingat bahwa kita adalah anak muda yang juga generasi pejuang. ”Anak muda, jangan pernah menyerah, sebab hidup adalah resiko dari menetukan pilihan”

Bukankah itu yang selalu kau bilang padaku..

Tamalanrea, 08

Mawo_as@yahoo.co.id

SALAM

semalam, saat buka fs. rupanya seorang kawan mengirim testimoni.
kira-kira begini testimoninya
----------
Salam.
pa kabar ya pejuang
rindu juga bersua dirimu
jaga bara agar tetap semangat
jara diri agar tetap sehat
jaga hati agar tidak sombong
jaga pikiran agar tetap melawan kebatilan
anak muda tidak pantas mati diatas kasur....

salam Revolusi umat

Rahmat

MENGINGAT PERJUANGAN ITU..

sekadar mengingat masa lalu. Setiap langkah dan jejak akan menjadi artefak sejarah. Dan tiap generasi memiliki zamannya sendiri. foto-foto ini hanay mewakili betapa kerja keras dan perjuangan tak selamanya selalu selaras dengan hasil. Tapi kami belajar tentang proses yang tak semua orang pernahmencobanya.

Untu saudara(i) ku. semoga langkah yang pernah kita jalani bersama tak usang dimakan zaman.
Dan terima kasih atas warna-warni tentang kehidupan yang pernah diajarkan. Semangat itulah yang membuat kita masih punya harapan..

terim kasih.

mao


Gambar 1 : di Fekon..saat lagi orasi kecil-kecilan..


gambar 2 : Para pejuang itu..semangatnyat ak pernah pudar..keep hamasah

gambar 2 : Ini pamflet terkeren dan paling mao suka..salute..nehh siapa yah...?


Gambar 1 : salah satu pamlet untuk memenagkan jimao pada pemilu BEM Unhas. ( yang buat siapa yah..??)

LIMA TAHUN YANG BERARTI



Kemarin, Senin, saat berniat ke fakultas untuk mengurusi surat-surat kelengkapan praktek kerja lapangan, rencana awal ingin naik motor. Namun, parkiran yang cukup padat membuat motor kesayanganku tak bisa keluar. Akhirnya jalan kaki menjadi solusi terakhir. Seperti biasa, untuk sampai ke tujuan, menyusuri koridor-koridor fakultas jadi bagian dalam perjalanan.


Inilah awal semuanya mulai bermakna. Setelah lima tahun melangkahkan kaki di kampus ini. Semuanya serasa terkikis oleh waktu yang tak pernah berhenti. Sementara aku masih berjuang menghadapi hari-hari yang makin tak ramah.

Lima tahun lalu, sebuah masa yang membuat setiap yang bergelar mahasiswa punya euforia kemenangan. Kemenangan atas diri sendiri yang mampu menjadikannya mahasiswa. Pasalnya di mata masyarakat, gelar ini punya prestise tersendiri. Nilai jualnya tinggi, apalagi ketika mampu jadi mahasiswa teladan, atau berprestasi atau mampu bersuara menegakkan kebenaran, menjadi pemimpin organisasi tingkat fakultas, universitas. Begitulah kira-kira pandangan masyarakat yang pernah ketemu denganku. Pokoknya, mahasiswa itu memiliki kelebihan dari siswa ataupun lulusan sma yang langsung kerja.

Mahasiswa, kata itu selalu jadi bahan diskusi setiap kali ada pengkaderan .mahasiswa baru ataupun tingkat lanjut. Pokoknya, di dalam kata itu tersirat sebuah kebanggaan dan gerak semangat. Kata ini berasal dari perpaduan antara ’maha’ dan ’siswa’. Ternyata dalam kehidupan ini, hanya Maha Kuasa (Esa) yang memiliki kesamaan dengan Maha-Siswa. Inilah yang membuat esensi kemahsiswaan penting untuk dipahami. Kata seorang temanku, mahasiswa itu memiliki peran sebagai agen of sosial control, agen of change. Sebagai pemabaharu, pembawa perubahan, penyampai kebenaran dan meluruskan kesalahan dari pemegang kekuasaan.

Selain itu, mahasiswa dianggap sebagai middle class. Kelas menengah yang dapat menjadi jembatan antara kalangan grass root dengan kelompolk elit. Tatanan nilai moral dan bebas nilai inilah yang membuat mahasiswa dipercaya untuk mengemban peran itu. Selama ini masyarakat bawah terlalu lama menderita dengan kekejaman pihak elit. olehnya itu, mahasiswa berperan menyampaikan suara rakyat miskin pada pemerintah. Karena pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. seperti dalam undang-undang ‘’orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,”

Selama lima tahun menjalani proses kemahasiswaan di kampus merah ini .Ada sebuah hal yang masih menjadi impian. Namun, sekiraranya kita sadar bahwa kadang-kadang semua itu utopis dan hanya bisa jadi mimpi. Semuanya akan ideal jika membayangkannya. Empat sampai lima tahun tak akan berarti apa-apa. Sebab proses kemahasiswaan di kampus ini tetap berjalan di tempat. Tak ada kemajuan yang berarti. Mahasiswa Unhas tetap terkotak-kotak, bangga dengan fakultasnya masing-masing, dan ego kefakultasan tetap melekat. Pernah suatu ketika, teman sekolah saya berujar jika di kampus ini hanya ada dua fakultas. Fakultas .tit.. dan fakultas lain-lain.

Semangat ke unhasan tak lebih baik dari semangat kelompok tukang becak di pinggiran jalan. Kasus perkelahian sesama mahasiswa Unhas pada sebuah aksi mahasiswa di depan DPRD Sulsel tahun 2006 lalu jadi contoh. Terus, silang pendapat saat hampir terjadi bentrok dengan polisi di depan gedung dewan itu saat aksi BBM bulan April lalu. Dan penyatuan gerakan dalam wadah lembaga tingkat fakultas tak pernah terwujud dengan baik. Parahnya lagi, kasus kekerasan dan tawuran tetap jadi agenda tahunan. Inilah gambaran kampus yang ingin mencitrakan dirinya sebagai kampus yang siap menuju universitas kelas dunia. Ironis memang.

Lima tahun menjadi mahasiswa merupakan kisah yang berarti, pahit manis kemahasiswaan telah menjadi catatan harian. Menikmati susahnya jadi ketua lembaga, ketua panitia, dan rapuhnya front penyatuan mahasiswa jadi cerita abadi. Bentrok dengan polisi, dikejar tentara, preman telah mewarnai hari-hari bersejarah itu. Dipuja lalu kemudian dilupakan sudah hal lumrah. Semuanya telah berlalu dengan kupasan waktu yang tak bernah berhenti. Lima tahun menjadi begitu berarti.

(Semoga tetep tercerahkan, salam buat kawan-kawanku, Iqbal, Zul’cappo’, Rusidi, Yupi, Jihad, Upi, Nurzal)

Kami Yang Tak Bisa Berbuat Banyak

Maafkan

Makassar, 17 juni 2008

Universitas Kelas Dunia, Hanya Mimpi


Pada Diesnatalis Unhas yang ke 51 lalu, para petinggi kampus ini mencoba menggagas Unhas sebagai sebuah universitas yang berkelas dunia. Ini tesirat lewat tema diesnatalis. “Capacity building to towards world class university”. Itulah yang kemudian dipublikasikan lewat spanduk, stiker, internet dan lain-lain. Rupanya ide ini telah ada sejak pembahasan rencana strategis Unhas, yang hakikatnya memiliki empat poin utama. Pertama, memiliki sistem pendidikan yang handal. Kedua, manajemen universitas yang efektif. Ketiga, penelitian yang terpadu dan keempat lingkungan kampus yang asri.
Berangkat dari situlah petinggi kampus ini mulai melakukan perubahan, penataan dan perbaikan kampus. Namun, sepertinya pembenahan yang dilakukan masih saja bersifat tiba-tiba, sporadis dan tak terencana dengan baik.
Masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana kampus dibenahi ketika presiden SBY bertandang ke kampus ini. Kemudian berlanjut saat kedatangan JK dan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Saat itu para buruh bekerja siang malam, seperti dikejar deadline. Hasilnya, tentu saj tak maksimal. Lebih lucu lagi, saat kunjungan JK meninjau asrama mahasiswa, mahasiswa yang masih menetap dihimbau untuk mengosongkan ramsis . Aneh juga melihat prilaku birokrat kita yang tak konsisten. Kadang kala berorasi dengan semangat perubahan, namun disisi lain rupanya mencoba menyembunyikan kebobrokan yang ada.
Dari keempat acuan Unhas tadi, mungkin hanya bagian pembenahan fisik yang mulai kelihatan. Itupun tak punya blue print dan perencanaan yang bagus.


Menjadi universitas kelas dunia mungkin saja baru sebatas cita-cita. Sebab pencapaian ke arah itu tidak jelas terlihat. Malah yang muncul dan tercitrakan adalah unhas yang tak layak. Betapa tidak, sungguh miris mendengar kampus terbesar di indonesi timur ini tak masuk hitungan Dikti sebagai universitas terbaik di Indonesia. Berbagai dalih pun dilontarkan untuk membatah putusan itu. Profil Unhas tak dikirimlah, database yang tak lengkap, suratnya tak sampai dan lain-lain. Meski ada pembelaan, kenyatannya adalah Unhas memang tak masuk daftar.


Parahnya lagi, saat Inspektur Wilayah IV Inspektorat Depdiknas melakukan audit internal terhadap kinerja birokrasi kampus ini. Hasil temuannya membuktikan jika di kampus ini masih saja terjangkit oleh fenomena dosen malas. Mestinya hal ini membuat birokrasi dan dosen merasa malu. Sebab kita masih ingat saat rektorat menambah subsidi untuk dosen yang hadir tatap muka dengan mahasiswa. Namun, rupanya sifat dasar dosen kita yang hasrat mengejar proyek lebih besar daripada membagi ilmunya pada mahasiswa. Lalu dimana tanggungjawab moral dosen atas gaji yang diterimanya per bulan?

Mimpi untuk jadi universitas kelas dunia sebaiknya diawali dengan pencapaian dari hal-hal kecil. Semisal memperbaiki sistem pembelajaran, pelayanan akademik, pengaturan alur krs, mendorong mahasiswa melakukan riset, dan paling utama adalah mengubah maind set dosen dan pegawai.

Selanjutnya dengan menyiapkan sarana dan fasilitas yang memadai untuk proses belajar mengajar. Ataupun proses penelitian dosen dan mahasiswa. Sebab, fasilitas di kampus ini masih minim. Memang ada jaringan nirkabel, namun hanya bisa dinimati oleh sebagian kecil orang. Tak lupa juga, penataan ulang perpustakaan dan koleksinya. Sebab perpustakaan adalah jantung dari sebuah unviersitas.

Pembenahan internal dan eksternal kampus ini sejak dini mesti dilakukan. Tidak hanya terus menerus mempercantik Unhas dari segi penampakan luarnya. Apalah artinya jika didalamnya terdapat kebobrokan yang besar.

Menilik langkah Unhas jadi universitas kelas dunia, Mungkin saja masih berada pada jalur yang salah. Banyak hal yang masih butuh perhatian. Hal di atas hanya sebagian kecil permasalahan yang menimpa Unhas. Begitu pun dengan segudang pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Namun langkah apapun yang ditempun ak akan maksimal. Jika saja rektor sebagai decision maker tak mampu memanajemen kampus. Pada akhirnya unhas hanya berilusi ataupun bermimpi jadi universitas kelas dunia.

KATAHATI

"ikuti kata hatimu, jawabannya ada disana"

Setelah nonton serial film Smallville
tanya pada hati
0050608

MENGEJA BAIT HIDUP

Rahasia tentang hidup tak pernah terungkap
dalam hidup, kedamaian biasanya datang menyapa
kadang pula enggan menyapa dan tak berpihak pada kita

seperti pedati ia berputar.
dengan senyum yang merekah
semesta menyambut dan memberi salam tiap pagi''

seakan mengukuhkan kebesaran-Nya
wajah-wajah kita mulai terasing
ruang dan waktu membuatnya kehilangan makna

rumahkecilmao.050608

HERO to BE NERO

"setiap zaman akan melahirkan anak zaman sendiri"

Sore tadi, setelah seharian tak beranjak di depan komputer mengerjakan laporan PKL yang batas waktunya tinggal sepekan. Menyelingi kebosanan membuat laporan. mengutak atik friendster dan informasi berita jadi pilihan. Tanpa sengaja kudapati kata-kata seoran kawan di sebuah Fs yang membuatku berhenti beraktivitas. Kuamati dan coba kupahami dengan baik baris demi baris kata-kata kawanku ini. Aku belum tahu pasti, apakah ini puisi atau sebuah ungkapan kekecewaan yang mendalam.

" Aku merasa asing di tempatku yg dulu.
Aku spt sampah, dicampakan dan tak berguna lagi
Maka biarkanlah aku terasing,
sekedar menambal luka dan kecewaku.
Biarkan aku membawa bebanku sendirian
Tanyamu adalah angin lalu bagiku
Aku hanya berharap bahwa waktu akan memapahku."

Datang dengan ke-culun-an , berkembang dan kemudian jadi orang besar, dipuja, dihormati dan dihargai . Setelah setelah semuanya berakhir. Maka dilupakan, dibuang memang sepertinya sudah jadi realitas kekinian.

Kawan, suatu waktu aku juga perhah medapatkan situasi yang sama. Ternyata waktulah yang mampu membuat kita menemukan jawaban atas semua itu. Sekadar mau memberikan saran, jika semuanya berakhir dan berpaling, maka hidup tak mesti juga harus berakhir. Semua akan indah pada waktunya nanti.

rumahkecilidentitas, juni 08


BLT, APA ITU ?

Sejak Pemerintahan SBY-JK menaikkan harga BBM, maka langkah cepat yang dilakukan adalah menggulirkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun yakin dan pasti hal ini hanya upaya membodohi rakyat. membuat rakyat berfikir Seolah-olah pemerintah itu baik. ''Harga BBM naik, kita dikasih uang, bae mang tong inne pamarintayya," Begitulah orang awam memaknai tiap langkah yang diambil oleh pemerintah.

Kemarin saat berkunjung ke Pulau Badi, di wilayah Spermonde ( Pulau di gugusan sulsel) ada hal yang sangat ironis. Masyarakatnya yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan makin menderita. Selain terkena dampak kenaikan harga BBM, mereka mesti menghadapi kenyataan naiknya harga barang makanan (sandang) di pulau, sewa perahu ke Darat (transportasi) dll.

Padahal untuk mengisi tungku rumah sehari-hari, umumnya mereka hanya bergantung pada hasil tangkapan ikan. Jika bernasib baik, maka hasil tangkapan juga banyak. Namun jika cuaca tak bersahabat, maka hasil tangkapan juga sedikit. Dengan naiknya harga BBM, maka susah jadi teman sejati.

Ketika, di wilayah daratan, masyarakat miskin menghiasi kantor pos, berebutan, saling dorong, untuk mendapatkan dana BLT. Maka di Pulau masyarakat masih bertanya apa itu BLT? " apa nikana injo," dan menunggu nasib kapan bisa berubah lagi. Pemandangan Kerumunan orang untuk mencairkan dana Rp.300 ribu seperti di Darat itu tak ada. Mengetahui saja apa itu BLT, mereka tak tahu. Apalagi menerima.

Begitulah, ironi negeri dongeng ini. Di Pulau masih ada jutaan orang miskin. Jangankan menerima BLT, mengetahui saja mereka tak tahu. Dan pemerintah hanya melihat hal ini sebelah mata. " Mereka datang ke pulau saat pemilihan saja (kampanye), meminta dukungan, bagi-bagi sarung dan perbaiki masjid, setelah itu tak pernah lagi, " ujar kawanku.


Makassar, 1 juni 08


 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic