KEPEMIMPINAN DAN INDONESIA BARU

Indonesia adalah negara yang berdaulat berdasarkan hasil proklamasi 1945. Menjadi negara merdeka dan bebas dari penjajahan asing adalah cita-cita luhur. Itulah yang mengilhami para pemimpin untuk memulai langkah baru menjadikan nusantara ini sebagai Indonesia. Kemerdekaan yang dirintis para Faunding Father bangsa ini merupakan sebuah langkan untuk membangun tatanan baru dalam keindonesiaan.

Sejarah mencatat bagaimana pola kepemimpinan para pendahulu kita untuk merintis terwujudnya sebuah indonesia. Lalu dengan keberanian para pemimpin itu kemudian berani meyatakan diri bebas dari belenggu penjajahan bangsa asing. Lihat saja Sukarno yang berani menolak masuknya neoliberialisme ke dalam bangsa ini.

Sekadar mengingat kembali akibat lemahnya pemimpin, 350 tahun lamanya bangsa ini berada dalam kungkungan bangsa asing. Penjajahan kompeni dan pemerintah Belanda pada masa itu menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaannya, kemandirian, kedaulatan politik, hukum dan ekonomi. Pasalnya, kebutuhan akan pasar rempah-rempah dan hasil bumi di Eropa, menuntut pihak perusahaan multinasional Vereenigde Ost-Indische Compagnie (VOC) untuk menguasai dan menguras bangsa ini. Pertanyaan mendasar adalah mengapa sebuah perusahaan mampu menjajah Indonesia. Jawabnya karena saat itu tidak semua raja atau penguasa melakukan perlawanan terhadap kaum imprealisme tersebut. Akibat dari penjajahan tersebut, secara struktur mental anak bangsa mengalami keruntuhan.


Memang kini Indonesia telah merdeka, namun permasalahan krisis kepemimpinan, kemiskinan, kesejahteraan rakyat, korupsi dan terbelakang dari bangsa lain menjadi catatan harian yang mengisi keseharian bangsa ini. Krisis kepemimpinan dan multidimensi yang berkepanjangan membuat jumlah rakyat miskin makin meningkat setiap tahun. Survey Bank Dunia menunjukkan penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6% dari jumlah penduduk 236,4 juta jiwa pada tahun 2007. Ironisnya, pada kondisi bangsa yang terpuruk saat ini, pejabat pemerintah membodohi rakyat dengan kebijakan kerjasama dengan luar negeri. Namun, hakekatnya adalah hutang yang membuat pemerintah menganggarkan pada APBN dengan nilai paling besar.

Bangsa ini adalah bangsa yang kaya. Sumber daya alam yang melimpah dengan keanekaragaman hayati nomor satu di dunia. Sumber daya hutan, tambang emas, batu bara, minyak, perikanan dan sebagainya. Bahkan, karena kekayaan alamnya, bangsa ini disebut sebagai megabiodiversity. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tersebut menarik minta asing untuk menanamkan modalnya. Indonesia kemudian menjadi surga emas pemodal asing. Maka beramai-ramailah pengusaha kelas dunia datang ke Indonesia. Lalu terjadilah perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. Landasan utamanya pun adalah kepentingan materi.

Terlebih lagi, cengkraman globalisasi yang disokong oleh Internacional Monetary Found (IMF) ,World Trade Organization (WTO) dan World Bank membuat negara dunia ketiga, termasuk Indonesia tidak berkutik. Merekalah yang menetukan arah kebijakan, memberikan hutang yang dikemas dalam bentuk bantuan, lalu mengucilkan negara yang berani melawan. Ketiga lembaga internasional dalam menjalankan programnya mengacu pada Konsensus Washington. Yang isinya mendukung perdagangan bebas, liberalisasi pasar modal, nilai tukar mengambang dan lain-lain. Pada intinya keberpihakan pada pasar dan kepentingan pemodal menjadi bagian penting dalam konsensus ini. Sampai 2009 ini utang sudah mencapai kurang lebih 1 trilyun. Artinya ini lebih besar dari prndapatan bangsa setiap tahun.

Korporasi asing pun berdatangan dan menanamkan investasi di Inodonesia. Kebijakan Presiden Soeharto saat Orde Baru berkuasa membuka pintu bagi pemodal asing secara lebar. Mulailah sumber daya alam bangsa ini dikeruk dan dikuasai oleh pihak asing. Misalnya saja ladang minyak, perusahaan sebesar Caltex mampu menguasai 70 % produksi minyak di Indonesia. Lalu dengan regulasi yang baru, pemerintah hanya mendapat 10 % ladang minyak dikelola. Sisanya untuk pihak swasta. Begitu pula yang terjadi di Blok Natuna, gas alam pada lokasi itu dikuasai 100 % oleh Exxon. Lucunya Indonesia hanya bisa gigit jari karena tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, kontrak karya Freeport yang dimulai tahun 1971 baru akan berakhir tahun 2041. Saat itu pemerintah hanya mendapat royalty 1-3,5 %, ditambah dengan pajak deviden. Jadi totalnya hanya 479 juta US$.

Freeport sendiri akan menerima 1,5 milyar US$. Penghasilan kotor dari emas 200.000 ons atau sekitar Rp 1,6 triliun sehari, Rp 48 triliun/bulan, Rp 576 triliun pertahun selama 50 tahun ke depan, akan melayang. Lain halnya dengan persoalan ilegal logging, ilegal fishing dan ekspor pasir ke Singapura. Dari pasir saja, negara dirugikan Rp 59 trilyun.

Kehilangan tanah negeri mungkin akan terjadi pada rakyat bangsa ini. Pasalnya pemerintah begitu murahan menjual kekayaan alam bangsa ini. Tak hanya itu, akibat privatisasi BUMN, Satelit Palapa, BNI 46, Garuda dan berbagai PTPN telah menjadi milik korporast asing. Perselingkuhan antara penguasa dan pemodal yang rela mengorbankan nasib rakyat bukan lagi hal lumrah di negeri ini. Apalagi pemerintah melalui undang-undang no 25 tahun 2007 dan peraturan presiden nomor 77 tahun 2007 membuka peluang asing untuk berinvestasi di negeri ini melalui kepemilikan modal. Misalnya saja pihak asing diberi kebolehan memiliki modal 95 % pada bidang energi dan sumber daya alam, bidang usaha, pekerjaan umum, dan sektor pertanian
Di saat kondisi bangsa yang sedang carut-marut seperti ini. Korupsi di gedung dewan masih merajalela.

Anggota dewan yang seharusnya dipercaya mewakili rakyat dan mengaspirasikan suara kaum papah tak banyak berbuat. Sama halnya dengan penegak hukum, saat kemiskinan semakin meningkat, milyaran rupiah habis dikorupsi demi kepentingan pribadi dan memuluskan para pemodal asing masuk ke bangsa ini. Jadi kita tak perlu heran jika Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia.
Persoalan Indonesian memang telah menjadi impian bangsa yang seutuhnya. Pasalnya penjajahan model bersenjata seperti zaman Belanda dulu kini tidak ada lagi. Melainkan lewat jerat kapitalisme global. Itulah yang mejadikan bangsa ini tak akan pernah merdeka. Lalu, apakah yang dibutuhkan oleh generasi bangsa untuk keluar dari penjajahan model baru tersebut. Keberanian, dan tidak menjadi budak – budak kekuasaan adalah salah satu jalan. Mungin bangsa kita akan menjadi bagian dari negara seperti Kuba, Argentina, Venezuela, Malaysia dan Chile yang berani melawan kepentingan negara adidaya dalam mengintervensi bangsanya.

Hal ini penting, sebab masa depan bangsa ini berada di tangan generasi muda yang memiliki kepemimpinan tangguh, kritis, dan optimis.

Berani Meretas jalan baru

Dengan permasalahan yang segudang tersebut, bangsa ini kemudian memerlukan jalan baru (poros perubahan) dan meretas sesuatu yang masih membelenggu. Dalam artian bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis yang berkepanjangan. Terkait dengan hal itu ini adalah momentum yang tepat untuk menjalin komitmen bangsa ini akan keluar dari krisis. Sebab pemilu presiden yang sedang berlangsung saat ini menjadi tolak ukur masa depan bangsa. Setidaknya lima tahun ke depan arah kebijakan pemerintah menghasilkan sesuatu yang bermanfaat buat bangsa. Momentum pemilihan presiden kali ini cukup berharga, pasalnya tiga calon yang maju pada pilpres mengusung visi misi yang berbeda. Meskipun pada dasarnya mengklaim untuk kesejahterakan rakyat.

Persoalan yang dihadapi bangsa ini seperti di atas menjadi semakin rumit dengan sikap para kandidiat calon presiden. Mereka lebih sibuk dengan mencari sensani dan saling sindir yang tak jelas juntrungannya. Sebenarnya rakyat tak berharap banyak dari janji-janji para calon. Sebab mereka juga belum tentu yakin akan janji tersebut akan ditepati. Namun keinginan untuk menjadikan indonesia negara yang betul-betul merdeka ada pada para calon presiden ini. Kita tahu Megawati-Prabowo datang dengan mengandalkan ekonomi kerakyatan dan membangun kesadaran rakyat melalui upaya menghapus UU BHP. Begitu juga dengan SBY-Budiono yang terus berupaya menghapus jejak atas isu antek neolib. Lalu ada juga Jusuf Kalla-Wiranto yang berupaya menarik simpati dengan isu kemandirian bangsa. Tidak menjadikan tangan di bawah melainkan tangan di atas.

Ketiga capres ini pada dasarnya setali tiga uang. Artinya apa, ada kesamaan yang tak bisa dipisahkan, yaitu sama-sama berjanji akan membawa indonesia ke jalan baru. Namun, mereka berada pada jalur yang berbeda. Pada siapa jalan baru tersebut kita percayakan. Hanya anda sendiri yang lebih tahu. Tapi yang pasti, untuk meretas jalan baru dan keluar dari belengggu bangsa kita butuh pemimpin yang berani. Hanya keberanian yang menjadikan seorang pemimpin ada. Setelah itu, mungkin kita baru merasakan indonesia baru yang seutuhnya.


Ismawan As
Aktivis Kammi

EMAIL PRITA MEMBAWA SENGSARA


Dua hari ini media dihebohkan oleh kasus penahanan Prita Mulyasari. Seorang korban yang dianggap melakukan pelanggaran UU ITE. Kasus ibu dua anak ini sebenarnya hanya kasus biasa saja. Mengirim email, lalu diposting ke milis dan kemudian tersebar luas. Namun, ranah private yang masuk ke public tersebut membuat geram pihak rumah sakit yang merasa namanya tercemar.

Inilah awal kasus itu dimulai. Meskipin kini Prita Mulyasari ditahan sejak 13 Mei 2009 di LP Wanita Tangerang, Banten dan harus menghadapi persidangan pidana telah bebas ( tahana kota). Dia dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Inilah isi lengkap email Prita Mulyasari yang dimuat di surat pembaca detik pada Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB dengan judul RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif

Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.


dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

“Manohara”, Drama Heboh Dua Negara

KASUS MANOHARA – Berlarut-larutnya kasus Manohara menjadi drama yang tiada habisnya. Drama Manohara yang menghebohkan 2 negara itu ternyata telah membuat marah seluruh keluarga kerajaan Kelantan, Malaysia marah. Ibarat karena tinta setitik rusak susu sebelanga, seluruh keluarga kerajaan merasa tercoreng karena kasus ini.

“Mereka marah, kecewa. Macam seluruh negeri Kelantan saja yang bersalah,” kata perwakilan dari pihak Kelantan, Dato’ Kadar Shah dalam jumpa pers di Hotel Hyatt, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2009).

Meski begitu, Dato’ berpendapat bahwa keluarga kerajaan harus turut tanggung jawab. Sebab dalam sebuah keluarga, jika satu anggotanya melakukan kelalaian anggota yang lain punya kewajiban mengingatkan.



“Tapi mereka juga harus bertanggung jawab. Seharusnya mereka ikut mengingatkan,” kata Dato’ yang sudah biasa berkunjung ke Indonesia ini.

Karena terdorong rasa ikut bertanggung jawab itulah dirinya selaku orang yang dekat dengan kerabat kerajaan menawarkan untuk ikut andil mencari solusi. Dia bersedia menjadi perantara antara kerajaan dengan keluarga Manohara.

Menurut Dato’, urusan dua keluarga ini sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Karena itu tidak patut rasanya jika sampai berlarut-larut dan membawa-bawa nama 2 negara yang saling berhubungan baik.

“Saya risau bahwa hal yang begitu kecil jadi bersifat internasional. Sebagai warga negara Malaysia saya tidak senang,” kata Dato’.

Dato’ juga menyesalkan sikap Tengku Fahry yang membiarkan orang luar turut andil sebagai jubir bagi kerajaan menyangkut masalah ini. Hal itu menurutnya justru memperkeruh suasana.

“Kelemahan Tengku adalah dia benarkan orang luar seperti Ihsan dan Sobri sebagai spokesman. Tapi kalau dia bilang ke saya, dia tidak membenarkan mereka. Tapi kalau mereka tidak dibenarkan, masa mereka berani banyak cakap dengan leluasa?” pungkas Dato’. (sho/anw/detikcom/rakyat demokrasi)


 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic