PENDIDIKAN DI UJUNG TANDUK

Anggaran Pendidikan dipotong 15 persen. Nasib pendidikan makin tak jelas.

Pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menteri keuangan Nomor S-1/Mk-02/2008 pada 2 Januari 2008 yang meminta pemerintah memotong anggaran pendidikan 15 persen. Rencana ini tentu saja membuat kita miris melihat nasib pendidikan di negeri ini. Pemotonngan ini dilakukan setelah pagu anggaran dikurangi gaji, kewajiban pembayaran utang, Pendapatan Negaran Bukan pajak (PNBP) dan hibah. (Kompas, 27 Februari 2008)

Sekadar diketahui, anggaran pendidikan tahun ini sebesar Rp 49, 15 trilyun. Dan tentunya jika dipotong hingga 15 persen, maka hasilnya 42,3 trilyun. Nilai ini lebih rendah dari anggaran tahun 2007 yaitu Rp. 44,1 trilyun.

Lagi-lagi pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat Undang-Undang, yang menganggarkan biya pendidikan sampai 20 persen. Jadi, wajar saja jika HDI negeri ini jauh tertinggal dari Negara di Asia Tenggara ( Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Myanmar).

Upaya untuk memperbaiki nasib pendidikan sepertinya makin berat. Pasalnya anggaran itu juga sudah termasuk gaji pegawai negeri (guru). Ironis memang, saat Negara lain berupaya memperbaiki ranah pendidikan, pejabat negeri ini malah berniat menggadai pendidikan. Dengan dalih memperbaiki manajemen kampus. Maka, perguruan tinggi negeri akan diubah jadi PT BHP (statusnya badan hukum ; agar lebih memudahkan investor asing menanamkan modalnya di Indonesia).

Begitulah, nasib pendidikan di negeri entah berantah ini. Tak ada perhatian pemerintah. Masih jelas dalam ingatan saya saat anak-anak pulau di Takalar yang mau sekolah. Tapi tak ada guru yang mau ke lokasi tersebut. Alasannya sederhana, Jauh di tengah laut. Ini hanyalah satu contoh pulau yang lumayan dekat. Nah, bagaimana dengan pulau-pulau yang jauh. Yang lebih parah lagi, di negeri ini ada sekitar 17 ribu pulau. Dan tentunya pulau tersebut berpenghuni. Namun, yakin saja, anak – anak pulau tak punya kesempatan mendapatkan pendidikan.

Atau ingat film Denias, sebuah lakon yang mewakili masyarakat pegunungan. Upaya untuk sekolah serasa berat. Denias mewakili anak gunung yang beruntung. Tapi ingat, masih ada anak gunung lain yang tak semua sama dengan Denias. Atau ceritan tentang Laskar Pelangi. Sangat jelas keberpihakan pemerintah hanya pada masyarakat mapan saja. Rakyat Miskin jadi anak tiri. Sungguh kasihan.

Hal itu banyak terjadi disekitar kampus Unhas ini. Tak banyak yang mencicipi nikmatnya pendidikan. Akibatnya jadi loper koran, penjual jalangkote, pemulung, dan buah merupakan kerja sehari-hari. Lihat saja, berapa banyak dari mereka yang lebih memilih bekerja (berkeliaran di kampus) daripada sekolah. Alasannya Cuma satu, tak ada uang untuk bayar uang sekolah. Atau dalam bahasa Makassarnya Tena Doe’ka. Wajar saja, pasalnya sekolah negeri sekalipun sudah memasang harga mahal untuk siswa yang mau daftar.Bahkan ada yang sampai jutaan rupiah.

Jadi wajar saja jika bangsa ini tetap tertinggal dan bermuara pada kebodohan. Tak ada yang peduli dengan nasib anak-anak negeri ini. Padahal negeri ini katanya kaya dengan sumber daya alam. Mungkin benar kata Pramudya Ananta Toer jik bangsa ini adalah kuli dari bangsa-bangsa di dunia. Sebab, untuk memerhatikan pendidikan saja susahnya minta ampun.

1 comments:

Kolor bolong said...

Mungkin ini salah satu akibat dari dana BLBI yang dibawa kabur orang-orang gila ke Singapur....hehehe...

"Ratusan trilyun men....bayangin...(lagi mbayangin)"

Post a Comment

ISI APA ADANYA

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic