LIMA TAHUN YANG BERARTI



Kemarin, Senin, saat berniat ke fakultas untuk mengurusi surat-surat kelengkapan praktek kerja lapangan, rencana awal ingin naik motor. Namun, parkiran yang cukup padat membuat motor kesayanganku tak bisa keluar. Akhirnya jalan kaki menjadi solusi terakhir. Seperti biasa, untuk sampai ke tujuan, menyusuri koridor-koridor fakultas jadi bagian dalam perjalanan.


Inilah awal semuanya mulai bermakna. Setelah lima tahun melangkahkan kaki di kampus ini. Semuanya serasa terkikis oleh waktu yang tak pernah berhenti. Sementara aku masih berjuang menghadapi hari-hari yang makin tak ramah.

Lima tahun lalu, sebuah masa yang membuat setiap yang bergelar mahasiswa punya euforia kemenangan. Kemenangan atas diri sendiri yang mampu menjadikannya mahasiswa. Pasalnya di mata masyarakat, gelar ini punya prestise tersendiri. Nilai jualnya tinggi, apalagi ketika mampu jadi mahasiswa teladan, atau berprestasi atau mampu bersuara menegakkan kebenaran, menjadi pemimpin organisasi tingkat fakultas, universitas. Begitulah kira-kira pandangan masyarakat yang pernah ketemu denganku. Pokoknya, mahasiswa itu memiliki kelebihan dari siswa ataupun lulusan sma yang langsung kerja.

Mahasiswa, kata itu selalu jadi bahan diskusi setiap kali ada pengkaderan .mahasiswa baru ataupun tingkat lanjut. Pokoknya, di dalam kata itu tersirat sebuah kebanggaan dan gerak semangat. Kata ini berasal dari perpaduan antara ’maha’ dan ’siswa’. Ternyata dalam kehidupan ini, hanya Maha Kuasa (Esa) yang memiliki kesamaan dengan Maha-Siswa. Inilah yang membuat esensi kemahsiswaan penting untuk dipahami. Kata seorang temanku, mahasiswa itu memiliki peran sebagai agen of sosial control, agen of change. Sebagai pemabaharu, pembawa perubahan, penyampai kebenaran dan meluruskan kesalahan dari pemegang kekuasaan.

Selain itu, mahasiswa dianggap sebagai middle class. Kelas menengah yang dapat menjadi jembatan antara kalangan grass root dengan kelompolk elit. Tatanan nilai moral dan bebas nilai inilah yang membuat mahasiswa dipercaya untuk mengemban peran itu. Selama ini masyarakat bawah terlalu lama menderita dengan kekejaman pihak elit. olehnya itu, mahasiswa berperan menyampaikan suara rakyat miskin pada pemerintah. Karena pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. seperti dalam undang-undang ‘’orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,”

Selama lima tahun menjalani proses kemahasiswaan di kampus merah ini .Ada sebuah hal yang masih menjadi impian. Namun, sekiraranya kita sadar bahwa kadang-kadang semua itu utopis dan hanya bisa jadi mimpi. Semuanya akan ideal jika membayangkannya. Empat sampai lima tahun tak akan berarti apa-apa. Sebab proses kemahasiswaan di kampus ini tetap berjalan di tempat. Tak ada kemajuan yang berarti. Mahasiswa Unhas tetap terkotak-kotak, bangga dengan fakultasnya masing-masing, dan ego kefakultasan tetap melekat. Pernah suatu ketika, teman sekolah saya berujar jika di kampus ini hanya ada dua fakultas. Fakultas .tit.. dan fakultas lain-lain.

Semangat ke unhasan tak lebih baik dari semangat kelompok tukang becak di pinggiran jalan. Kasus perkelahian sesama mahasiswa Unhas pada sebuah aksi mahasiswa di depan DPRD Sulsel tahun 2006 lalu jadi contoh. Terus, silang pendapat saat hampir terjadi bentrok dengan polisi di depan gedung dewan itu saat aksi BBM bulan April lalu. Dan penyatuan gerakan dalam wadah lembaga tingkat fakultas tak pernah terwujud dengan baik. Parahnya lagi, kasus kekerasan dan tawuran tetap jadi agenda tahunan. Inilah gambaran kampus yang ingin mencitrakan dirinya sebagai kampus yang siap menuju universitas kelas dunia. Ironis memang.

Lima tahun menjadi mahasiswa merupakan kisah yang berarti, pahit manis kemahasiswaan telah menjadi catatan harian. Menikmati susahnya jadi ketua lembaga, ketua panitia, dan rapuhnya front penyatuan mahasiswa jadi cerita abadi. Bentrok dengan polisi, dikejar tentara, preman telah mewarnai hari-hari bersejarah itu. Dipuja lalu kemudian dilupakan sudah hal lumrah. Semuanya telah berlalu dengan kupasan waktu yang tak bernah berhenti. Lima tahun menjadi begitu berarti.

(Semoga tetep tercerahkan, salam buat kawan-kawanku, Iqbal, Zul’cappo’, Rusidi, Yupi, Jihad, Upi, Nurzal)

Kami Yang Tak Bisa Berbuat Banyak

Maafkan

Makassar, 17 juni 2008

3 comments:

Anonymous said...

Ass kk,,,

Knp menulis "Kami Tak Bisa berbuat Banyak"?!!!

Sudah menyerah ya dengan apa yang selama ini kalian perjuangkan?!!!

Never give up!!!

Dipuja lalu dilupakan sudah hal yang lumrah,, sperti yang kakak bilang. Ya,, seperti itukan roda kehidupan,, kadang diatas n dibawah,,,

Jangan karena perjuangan kakak dilupakan,, kakak berhenti berjuang,, teruskan perjuangan ta'..

Keep On fight with ur idealisme!!!

(Mau bilang salam perjuangan,, tapi saya sendiri nda ngerti)

^_^ Fifi

Anonymous said...

mahasiswa adalah sbg komtrol sosial, tp knp ka' kbanyakan aksi yg dilakukan mahasiswa dlm demonstrasi melawan ato menolak sesuatu hrs d tunjukan dg anarkis? bukankah itu justru melunturkan simpati masyarakat trhadap mahasiswa yang ktx adlh sbg jembatan antara kalangan grass root dengan kelompolk elit? bgaimana kalangan grass root bs percaya bhwa ini adlh utk mereka walaupun mungkin sbenarnya bkn aksi demikian yg d harapkan olh mereka?
ato semua yg tersaji adalah kontruksi dr sebuah media shg terlahir hal2 yg justru menurunkn kredibilitas mhsiswa thdp masy? ato jg ini adlh jebakan oknum2 yg ingin membangun kredibilitas sendiri, shg persepsi masy akan berubah? (dlm hal ini yg ditunjukkan olh polisi). sy jd bingung...???
mav ya ka'...!!!
makasi...

Anonymous said...

tetap smangat kanda..

Post a Comment

ISI APA ADANYA

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic