Di Bauluang, Daeng Lira Sebatang Kara

”Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir identik dengan kemiskinan, tak berpendidikan dan kurang sehat,” itulah kata seorang teman suatu ketika di sebuah koridor Fakultas di Unhas. Lebih jauh Ia mengatakan jika pendidikan masyarakat pulau amat jauh tertinggal dari masyarakat daratan.
Selang beberapa bulan kemudian. Tepatnya di penghujung tahun 2007. Ketika saya mengikuti survei di Pulau Bauluang, pulau yang berada di gugusan kepulauan Tanakeke. Desa Mattirobaji, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar ini. Di pulau yang Pulau ini didiami ± 106 KK dengan jumlah penduduk sekitar 497 jiwa. Saya mendapati sebuah teater pendidikan yang tak biasanya. Sebuah sekolah yang sepi, tak ada aktivitas belajar dan guru yang biasanya mengajar juga tak nampak. Hanya ada beberapa anak-anak yang sibuk mencari kepiting atau sekadar bermain di pantai.
Kondisi ini amat berbeda dengan apa yang terjadi di perkotaan. Tiap hari sekolah dipenuhi dengan kegiatan aktivitas belajar. Sekolah selalu ramai dan tak pernah sepi. Bahkan ada sekolah yang memakai jadwal masuk dua kali. Ada yang masuk pagi hingga siang hari dan masuk siang hingga sore hari.
Di pulau itu, saya bertemu dengan Daeng Lira (54), salah satu guru SD yang masih bertahan. Ia banyak bercerita mengenai kondisi pulau, masyarakatnya dan keadaan pendidikannya. Nampak raut wajahnya yang mulai menua menyiratkan umurnya tak muda lagi. Sesekali Ia mengeluhkan nasib generasi di pulaunya yang tak jelas. Apalagi menurutnya pemerintah tak pernah adil. ”Penyebab pendidikan di wilayah kepulauan (termasuk Pulau Bauluang) mengalami ketertinggalan karena rendahnya perhatian pemerintah dalam memajukan pendidikan masyarakat pulau,’” ungkap Daeng Lira kesal.
Kondisi ini membuat anak-anak pulau yang tak mengeyam pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan tak dikenal masyarakat pulau. Pemerintah seperinya tutup mata dengan pendidikan di wilayah pulau. Indikasinya dapat dilihat dari kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar mengajar. “Selain itu, kurangnya guru yang berminat mengajar di wilayah pulau menjadi sebab proses belajar mengajar mengalami kemacetan,” keluhnya.
Potret inilah yang terjadi di Pulau Bauluang. Kalaupun ada, guru-guru (pegawai negeri sipil) yang ditugaskan mengajar di Pulau biasanya hanya bertahan selama beberapa hari. Setelah itu, mereka itu kembali ke darat (sebutan masyarakat pulau untuk wilayah daratan). Lalu kembali ke pulau biasanya satu hingga dua bulan kemudian.
Imbas dari malasnya guru-guru ini, kelas-kelas jadi kosong dan siswa-siswi yang ada di Pulau Bauluang jadi terlantar. Prosesi belajar mengajar baru terlaksana jika ada guru yang datang dari darat. Namun, ini hanya bertahan beberapa hari, jika guru-guru itu kembali ke darat maka kelas-kelas pun kembali jadi kosong. Tak ada aktivitas belajar mengajar, seperti lazimnya sebuah sekolah. Selebihnya waktu anak-anak pulau ini pun dihabiskan dengan bermain di laut atau ikut orangtuanya melaut di perairan Selat Makassar.
Ini hanyalah potret salah satu pulau di wilayah Kepulauan Tanakeke. Pulau-pulau yang lain di wilayah itu juga bernasib sama dengan Pulau Bauluang. Bahkan dari beberapa pulau yang ada di wilayah itu, hanya pulau ini yang memiliki sekolah dasar. Misalnya saja dusun Lantangpeo, dusun Labbutallua, Dusun Kalukuang, Pulau Dayang-dayangan.
Keprihatinan Dg.Lira (54) sebagai penduduk Pulau Bauluang yang berhasil jadi guru tahun 1984 merasa khawatir dengan nasib masa depan generasinya. Ia berinisiatif mengambil alih peran guru-guru jika ada yang pergi meninggalkan pulau. Sebagai sarjana agama, Dg. Lira awalnya merasa sulit untuk beradaptasi mengajar. Namun lambat laun ia berusaha beradaptasi dan berupaya mengajar pada semua bidang studi sekaligus. Misalnya di bidang agama, ipa, ips, matematika, dan bahasa Indonesia. Mengajar di bagian yang bukan bidangnya memang sulit. Namun, apa mau dikata, Dg.Lira mesti harus tetap mengajar jika ingin melihat anak-anak di pulau itu tetap sekolah. Untuk menyiasati sulitnya menyusun saf-saf pelajaran, Dg.Lira hanya mengacu pada pedoman buku pelajaran yang dipakai oleh siswanya.
Terkadang, di Sekolah Dasar (SD) Negeri No 33 Bauluang Dg Lira biasa sekaligus mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Sekolah yang ia tempati juga hanya menggunakan tiga kelas. Jadi, saat mengajar siswa kelas satu digabung dengan siswa kelas dua. Siswa Kelas tiga dan kelas empat. Sedangkan siswa kelas lima digabung dengan siswa kelas enam. Inilah yang dilakukan guru ini jika tak ada satupun guru yang datang mengajar atau guru-guru tersebut pergi meninggalkan pulau.
Untuk mengatur siswa yang jumlahnya 92 orang, Ia menerapkan sistem shift. Artinya, setiap pagi ia mengajar siswa kelas satu dan kelas dua dulu, setelah itu siswa kelas tiga dan empat. Terakhir siswa kelas lima dan enam. Inilah yang ia lakukan tiap hari. Mengajar kelas satu sampai kelas enam silih berganti.
Namun, jika ia ada urusan di darat (kabupaten Takalar), maka siswa-siswi di pulau tersebut banyak yang berkeliaran di pesisir mencari kepiting atau ikan. Kelas-kelas jadi kosong dan tak ada aktivitas belajar mengajar. Ketika ditanya, anak-anak itu akan menjawab dengan spontan jika Daeng tak ada. Jadi tak masuk sekolah. Sekolah akan mulai jika daeng sudah kembali ke pulau.
Situasi ini membuat Ia makin prihatin, itulah yang mendorong ia beberapa kali melaporkan kondisi pendidikan di pulau bauluang pada pengawas pendidikan. Namun, hanya ditanggapi begitu saja. Tak ada sanksi yang jelas buat guru-guru yang tak melaksanakan tugas tersebut. Padahal mereka tetap menerima gaji.
Tahun 1999-2000 Dg Lira dipindahtugaskan dari pulau bauluang ke daerah darat. Imbasnya, kondisi pendidikan di pulau tersebut makin parah. Kurangnya guru jadi msalah utama, kalaupun ada hanya bertahan beberapa hari. Perjuangan untuk kembali ke pulau tetap Ia lakukan. Beberapa kali memohon untuk dikembalikan mengajar di pulau. Tahun 2001 akhirnya Ia kembali ke pulau. Selama di pulau, kondisi pendidikan tak banyak yang berubah. Kurangnya guru dan minimnya sarana dan prasarana tetap menjadi kendala utama.

Faktor yang mempengaruhi
Jarak yang jauh jadi alasan tak banyak guru yang mau mengajar di wilayah pulau. Untuk sampai ke pulau itu. Biasanya memakan waktu hingga 2 jam perjalanan. Sarana yang digunakan untuk sampai kesana juga masih amat sederhana. Hanya menggunakan perahu motor. Satu kali menyeberang dari Dermaga di Kabupaten Takalar membutuhkan kocek sebesar Rp 50 per orang. Ini pun jika hari pasar. Tapi jika hari-hari biasa, maka untuk sewa perahu meningkat sampai Rp. 150 ribu untuk sekali menyeberang.
Apalagi daerah seperti Pulau Bauluang yang tak ada sarana pelayanan kesehatan dan sumber listriknya. Kalaupun ada, hanya ada genset yang bisa bertahan beberapa jam saja. Untuk sampai ke pulau,
Kondisi sarana pelayanan masyarakat masih tergolong sangat minim. Misalnya tidak ada sarana pelayanan kesehatan. Puskesmas pembantu hanya ada di pulau Satangnga. Pulau yang dapat dilalui dengan menggunakan perahu selama 15 menit. Di puskesmas itu, tak ada dokter. Hanya ada bidan. Jika ada warga masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Biasanya ke pulau Satangnga. Namun, apabila petugas kesehatan tak mampu mengobati. Maka, jalan satu-satunya adalah menuju darat (kabupaten Takalar) yang jaraknya biasa 2 jam perjalanan di laut. Selain itu, kurang memadainya fasilitas air bersih juga jadi kendala. Di Pulau itu hanya air payau dan air sumur yang digali.
Nasib anak pulau tak menentu
Begitulah kondisi pendidikan di Pulau Bauluang. Salah satu pulau yang memiliki sekolah dasar. Namun sikap indispilniner guru yang bertugas di sana, membuat nasib anak-anak pulau jadi tak menentu.
Meski pada dasarnya dipahami jika seorang guru memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar dan kemajuan pendidikan. Namun, serasa hal itu hanya untuk siswa yang berada di perkotaan (darat) saja. Sebab mengajar di pulau butuh pengorbanan. Dan tak banyak yang mau berkorban. Walau telah jadi jadi pegawai negeri yang tiap bulan menerima gaji dan harus mengikuti aturan negara.
Anak-anak di pulau itu sepertinya rindu dengan sosok Dg.lira yang lain. Keseharian siswa-siswi ini akan dihabiskan mencari ikan, kepiting atau ikut bersama bapaknya melaut jika tak ada guru yang datang.
Di atas perahu motor dalam perjalanan pulang, saya kembali mengingat apa yang diucapkan teman saya di koridor Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan.

Ismawan as
Mahasiswa kelautan unhas

0 comments:

Post a Comment

ISI APA ADANYA

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic