Unhas Bersatu, Sebuah Mimpi..

Aksi Demonstrasi mahasiswa Unhas dua Mei lalu masih jelas berbekas dalam benak saya. Betapa tidak, mahasiswa jaket merah kampus ini berupaya menyuarakan aspirasinya dengan menggelar aksi damai. Mereka berbondong-bondong menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel. Kerelaan meninggalkan bangku kuliah, praktikum, asistensi, dan segala aktivitas belajar. Itu semua hanya untuk menuntut agar pendidikan di negeri ini diberi perhatian. Agar, mata para pejabat yang menikmati kursi empuk kekuasaan terbuka lebar. Khususnya menyangkut persoalan BHP yang-sebentar lagi akan diberlakukan. Jika benar terjadi, maka pupus sudah harapan pendidikan murah dan selamat datang pendidikan mahal.
Sekali-lagi, perasaan haru berkecamuk melihat semangat teman-teman mahasiswa yang turun aksi kala itu. Ada perasaan bangga. Apalagi saat orator seperti Wawan, Jihad, Somba, Ikbal, dll (semoga keselamatan selalu tercurah padanya) menggugah semangat mahasiswa. Berasal dari fakultas yang berbeda-beda. Sekat-sekat antar fakultas sepertinya luntur. Tak mengenal senior dan junior. Nampak juga para mahasiswa baru bercampur baur dengan sesamanya yang datang dari fakultas lain. Ada kebahagiaan saat bertemu sapa dengan teman SMA dulu. Sepertinya mahasiswa baru ini melepas kerinduan di kerumunan massa. Semua bersama dan bersatu menyuarakan penolakan terhadap pendidikan mahal.
Aksi ini melibatkan mahasiswa Unhas dalam jumlah besar setelah kasus penolakan terhadap kenaikan BBM 2006 lalu. Pun menyatu di bawah payung Aliansi Mahasiswa Unhas. Sebuah pertanyaan kemudian muncul. Kok tak bergerak di bawah bendera keluarga mahasiswa Unhas. Bukankah di kampus ini telah ada lembaga mahasiswa tingkat universitas. Apakah karena Kema Unhas tak mewakili empat belas badan eksekutif tingkat fakultas, atau Kema Unhas tak refresentatif hingga tak diakui, ataukah agar aksi ini juga bisa mewadahi teman-teman dari Sema FT, BEM Sastra, Sema Kelautan, dan BEM FKM. Entahlah..? Terlepas dari itu semua, yang pasti hari itu ada harapan untuk bersatu. Setidaknya hari itu.
Tapi, perasaan kecewa mulai muncul ketika hampir terjadi adu jotos sesama mahasiswa Unhas. Sekali lagi kita memperlihatkan betapa lunturnya kebersamaan yang coba kita bangun. Tak di dalam kampus, pun di luar kampus. Pemicunya bukan hal besar, namun persoalan BEM Unhas. Saat rombongan pertama yang membawa panji tiap fakultas berhenti di depan gedung dewan. Tiba-tiba dari arah belakang muncul peserta aksi yang tubuhnya dibaluti bendera Kema Unhas. Spontan saja, barisan paling depan kaget, lalu ada yang berteriak “Kenapa ada bendera BEM Unhas di sini,”. Beberapa orang pun mengejar dan meminta agar bendera itu dilepaskan. Untung saja masih ada kerelaan, dan jiwa besar hingga kericuhan tak berlangsung lama dan masalah itu selesai. Setelah itu, aksi kemudian dilanjutkan ke gedung dewan.
Saya kenal dekat dengan mahasiswa yang teriak pertama kali itu. Sejak berangkat dari kampus kami selalu bersama. Ia teman saya semasa di SMU 5 Makassar dulu (semoga keselamatan selalu tercurah padanya). Selepas aksi, kami juga pulang bersama. Dalam perjalanan, kami diskusi tentang kejadian tadi. Sebetulnya ia hanya kecewa pada BEM Unhas. Kenapa baru sekarang muncul. Lalu kemana BEM Unhas saat banyak mahasiswa Unhas yang diskorsing oleh pihak birokrasi kampus yang Sok!.
Selang beberapa hari kemudian. Suatu senja di pelataran PKM, saya juga bertemu dengan mahasiswa yang membawa bendera Kema itu. Ia juga kawan dekat saya di kampus, teman diskusi dan tempat minjam buku. ”Kok, kamu berani menerobos barisan depan dengan bendera BEM Unhas,” tanyaku. Ia lalu jelaskan semuanya. Baginya apa yang ia lakukan adalah bentuk ’gugatan’ terhadap perangkat Kema, termasuk Parlemen Mahasiswa, dan BEM Unhas yang tak mampu mewadahi aksi mahasiswa ini. “Mengapa harus ada lagi aliansi mahasiswa Unhas, padahal sudah ada lembaga tingkat universitas,” ungkapnya.
Mendengar penjelasannya, saya merenungi jika kedua teman saya ini sama-sama kecewa. Namun, melalui apresiasi yang berbeda. Tapi, kejadian itu sebenarnya hanya soal komunikasi saja yang tak sampai. Jika sejak awal dibicarakan, insiden yang hampir membuat sesama Unhas bentrok tak perlu terjadi. Semuanya kan bisa didialogiskan.
Berkaca pada insiden itu, sepertinya kita perlu merefleksikan setiap peran dan amanah yang diberikan. Merefleksikan nilai-nilai ’bersesama’ yang hilang. Pasalnya untuk kesekian kali kita belum bisa mengusung kata sepakat pada suatu hal.
Suatu saat mungkin kita perlu berterima kasih pada seseorang yang pertama kali menciptakan ungkapan Unhas bersatu, tak bisa dikalahkan. Sebab, kata-kata itu cukup hangat jika saja bisa terwujud. Semoga. Sebab ini hanya sebuah harapan.
Nb: Tuk Adam Muhammad-Sendja dan M Zainil Bahri, Semoga tetap semangat sahabat.

ismawan as
mahasiswa biasa unhas--mawo_as@yahoo.co.id

Jangan Menyerah Menggapai Mimpi

“Bermimpilah karena tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” Arai

Novel ini bercerita tentang Ikal dan Arai sebagai pemuda biasa dari Belitung yang berupaya mewujudkan mimpi-mimpinya. Sebagai anak kampung yang terlahir dengan kerasnya kehidupan, mereka mencoba mempertaruhkan nasibnya. Bagi mereka, mimpi itu akan jadi kenyataan suatu saat nanti. Tentang bermimpi, Pak Belia, guru sma-nya memang sejak awal mengajarkan ilmu ini. “Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, termukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi si Spanyol.” (hal 34). Kalimat ini bagi ikal amat menggelisahkan sepanjang waktu. Bagai pungguk merindukan bulan! Namun, kepribadian Arai membuat semangat Ikal selalu merasa berada di puncak Everest. Kata-kata itu begitu kuat, menyentuh dan menjadi pemicu Arai dan Ikal mewujudkan mimpi yang mereka simpan.
Jika dalam dua novel terdahulu, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi Ikal bercerita tentang mimpi dan usaha menggapainya. Nah, dalam novel Edensor ini, apa yang menjadi mimpinya jadi kenyataan. Mereka benar-benar telah sampai di Eropa, mimpi yang terbersit sejak dahulu. Dan akhirnya Ikal mampu menemukan kota kecil Edensor. Suatu tempat yang hanya diceritakan dalam novel pemberian A Ling, gadis yang membuatnya merasakan cinta pertama kali.
Dalam buku setebal 288 halaman ini, Andrea menyajikan penggalan kisah-kisah yang begitu bermakna. Gaya bertuturnya amat sederhana, tak berbelit - belit, mudah dipahami dan tetap menyertakan unsur-unsur fisika modern dalam kalimatnya.
Pada mozaik awal, novel ini kembali melirik ke masa kecil Ikal sampai dia berada di Eropa. Dapat dilihat pada sepuluh kisah pertama, mengisahkan Ikal yang lahir dari perjuangan ibunya agar melahirkan tepat pada 24 oktober. Ini terjadi supaya kelak Ikal bisa jadi juru pendamai. Semunya jadi indah saat keluarga Ikal memungut Arai, sepupu jauhnya yang tiba-tiba sebatang kara sejak usia delapan tahun.
Rupanya saat ini Ikal pertama kali merasakan namanya jatuh cinta. Baginya semua terasa aneh. Segalanya jadi serba baik.Gadis Hokian itu bernama A Ling, yang ia kisahkan rahasia gravitasi. Selain itu di bagian ini menceritakan saat ikal bekerja di Bogor dan keberangkatannya ke Prancis.
Mozaik berikutnya baru memulia bercerita tentang pengalaman Arai dan Ikal di Sorbonne, Prancis. Sebuah dunia yang baru bagi keduanya. Apalagi saat pertama kali menginjakkan kaki di Brugge, kota kecil di Belgia. Cuaca dingin membuat ikal terkena pulmonary adema. Pasalnya suhu turun sampai minus sembilan derajat celsius. Tubuhnya bergetar, darah tumpah dari hidungnya sampai ikal hampir mati Tak hanya itu, geger budaya juga menyergap. Ada paradoks antara apa yang terjadi di negerinya dan di Eropa.
Pertarungan mengelilingi Eropa mungkin jadi hal yang paling menarik. Ide untuk mengisi liburan musim panas. Masing-masing membentuk kelompoknya sendiri-sendiri. Ikal berpasangan dengan Arai. Yang menang adalah mereka yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara. Yang kalah harus mengurus laundry peserta lain selama tiga bulan dan harus menuntun sepeda secara mundur dari museum legendaris Le Leouvre ke gerbang L’Arc de Triomphe dimana di sepedanya digantungi pakaian-pakaian rombeng.
Ikal dan Arai menyebutnya sebagai pertaruhan nama bangsa. Atas dasar itulah tantangan dilaluinya dengan penuh semangat. Kadang-kdang mereka mesti jadi pengamen, makan daun-daun. Dan jika ada polisi, mereka pura-pura tidur. Selama perjalanan mereka tak pernah menyerah. Perjalanan ke 42 negara Eropa, Rusia dan sampai di Afrika berhasil dilalui. Ikal dan Arai pun jadi pemenang.
“Serasa ingin menyanyikan lagu Indonesia Raya,” lirih Ikalsaat kembali ke Sorbonne untuk menunaikan kewajiban sebagai mahasiswa. Kabar yang ia dengar bahwa Prof Turnbull, pembimbingnya akan pensiun dan pulang kampung dan bekerja di Sheffiled Inggris. Karena tesisnya belum selesai, Ikal ikut program exchange program ke Shieffield Hallam University. Disana ia melanjutkan risetnya dibawah bimbingan Prof Turnbull. Karena itu, ikal makin dekat dengan Edensor, desa kecil di Inggris yang selama ini hanya dibacanya di novel karya James Herriot. Pemberian pujaanya, A Ling yang entah dimana ia berada.
Dalam novel ini Andrea masih tetap menggunakan budaya tutur dengan baik. Bumbu metafora tetap kita dapatkan dan membuat pembaca mampu memaknai apa yang disampaikan. Andrea juga masih mengikutkan sains, fisika, kimia, biology, ekonomi dan sastra dala tiap kalimatnya. Novel ketiga ini juga ini banyak bercerita tentang perjalanan di Eropa, cintanya pada A Ling yang hilang, dan upaya menyelesaikan studinya.
Sebelum kehilangan jejak, A Ling memberi Ikal sebuah Buku. Buku pemberian A Ling itu memberinya inspirasi pada suasana desa kecil yang amat indah. Seperti bermimpi, Ia merasa berada di tempat itu. Hingga suatu ketika Ikal tanpa sadar telah menemukan desa kecil itu, Edensor.

“sejak kecil kami bekerja keras tanpa belas kasihan. Kami pernah dirampok, diusir, terlunta-lunta dan kelaparan. pernah diserang suhu panas sampai 42 derajat dan suhu dingin sampai minus sembilan derajat di Laut Utara. Dan kami telah mengelana 42 negara hanya berbekal keberanian,” Ikal

Resensi ini Kudedikasikan buat sahabatku; M. Iqbal
Ismawan As
Mahasiswa Kelautan 2003
KP KAMMI komsat uh

Dedikasi Abadi Buat Seorang Guru

Dedikasi Abadi Buat Seorang Guru

Berawal dari keinginan memberikan hadiah pada seorang ibu guru, maka tanpa rencana tetralogi Laskar Pelangi jadi novel inspiratif yang paling laris. Mengangkat kisah nyata dari kampung miskin di Belitung. Wilayah yang diambil alih perusahan timah. Meski begitu, semangat menempuh pendidikan tak pernah pudar, di tengah ketidakadilan korporasi, kemiskinan dan diskriminasi sosial. Laskar Pelangi tetap bertahan dengan keuletan, kejujuran, kesabaran, penuh dedikasi dan persahabatan yang tak pernah usang. Sebab, meyakini pendidikan mampu merubah dunia. Berikut kutipan Andrea Hirata kepada Ismawan as dari identitas Unhas. Minggu, 4 November 2007 lalu di Hotel Singgasana Makassar.

1. Ide apa yang melatarbelakangi pembuatan buku tetralogi laskar pelangi ini ?
Sebenarnya buku ini merupakan sebuah buku dedikasi yang sama sekali bukan untuk dimasukkan ke industri buku. Saya tak pernah berfikir akan menerbitkan buku ini dan memasukkan ke industri penerbitan.
2. Maksudnya ?
Karena awalnya buku ini hanya ditulis sebagai sebuah hadiah untuk guru saya. Namun, seorang teman mencuri drafnya dan memasukkannya ke penerbit bentang pustaka. Kemudian pihak penerbit itu menghubungi saya, terus terjadi proses editing dan tiga minggu kemudian buku ini jadi best seller. Saya tak menduga cerita yang berkisah tentang memoar dengan tokoh aku ini bisa sukses. Pasalnya, kisah yang subjeknya aku merupakan karya yang menentang arus pasar karena tak metropop. Sedang karya yang menguasai pasar itu saat ini adalah karya metropop dengan gendre ceklik.
3. Tadi draft itu dicuri, bagaimana kronologisnya?
Draft yang sudah saya ketik itu tersimpan di kamar dan siap untuk di kirim ibu guru saya yang ada di kampung. Tanpa sengaja naskahnya dibaca oleh teman saya, dan diam-diam dikirimkan ke penerbit. Dengan mengatasnamakan saya, begitulah sejarahnya laskar pelangi, dramatis, aneh.
4. Kenapa tiba-tiba anda menulis tentang tetralogi ini?
Jika membaca laskar pelangi maka akan diperoleh jawabannya. Kami belajar di sebuah sekolah yang tidak dipedulikan oleh siapapun. Sekolah ini terbentuk karena inisiatif pribadi dari ibu guru kami, seorang perempuan muda berusia 15 tahun yang masih anak-anak, hanya berijazah SKP yang setingkat SMP, dia membuat sekolah itu, dan menamainya sekolah Muhammadiyah. Kami hanya boleh sekolah di tempat itu karena tidak dapat sekolah di tempat yang lebih bagus. Sebab orang tua kami hanya bekerja sebagai kuli timah. Sedangkan yang bisa sekolah di tempat yang layak adalah anak dari pegawai perusahaan timah yang berpangkat. Saya dan teman-teman tak punya pilihan lain, makanya ini menyangkut sebuah substansi mendasar. Yaitu menyangkut keadilan dan menyangkut suatu substansi dimana sebuah wilayah tanah ulayat, wilayah tanah asli yang dieksploitasi oleh korporasi yg tidak memperdulikan nasib masyarakat yang mendiami daerah itu. Dan hal itu masih terjadi lho sekarang. Jangan-jangan masyarakat Dayak tak menikmati minyaknya Bontang atau orang Timika tak menikmati hasil dari PT Freeport. Inilah yang kami (saya dan teman-teman, red) alami ketika masih kecil dan menjadi flatform sosio kultural cerita laskar pelangi.

5. Mengapa berfikir memberi hadiah buku?
Hadiah ini memang saya niatkan ketika masih kelas 3 SD karena rasa kagum yang besar pada Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus, guru saya. Waktu kecil itu, saya meniatkan suatu hari akan membuat sebuah buku tentang beliau dan akhirnya sesudah dewasa baru kesampaian. Hal ini terjadi karena saya mendengar Bu Mus sakit keras. Nah, saat itulah saya membuatnya dengan cepat. Pasalnya saya takut terlambat tak bisa memberi hadiah pada guru saya itu. Akhirnya tanpa terasa buku ini selesai dalam tiga pekan.

6.. Kapan buku itu ditulis?
Saya menulis buku itu ketika saya pulang dari Aceh, saat jadi relawan bencana tsunami, di sana saya melihat sekolah hancur. Itulah titik awal dan pada saat yang sama ibu guru saya sakit, akhirnya saya berfikir segera menyelesaikan buku itu.

7. Mengapa anda memilih buku sebagai hadiah?
Motivasi memberikan sebuah buku karena saya berpikir buku itu tidak pernah mati, buku akan selalu ada seumur hidup. Di dalam buku itu pada dasarnya setting, adegan, deskripsi, dan karakter-karakter tokohnya, serta sekolah itu memang ada. Saya meletakkannya dalam flatfrom sosio kultural. Suatu wilayah yang mengalami ketidakakadilan, kompensasi tanah ulayat tak ada. Itu kan jadi menyedihkan, memiliki tanah di situ tetapi tidak bisa menikmati fasilitas yang memadai karena sistem yang tidak baik.

8.Anda kan tak pernah belajar sastra atau menulis cerpen, bagaimana buku ini bisa selesai?
Saya percaya sekali kalau sebuah komunitas memiliki karekternya sendiri. Saya ini orang melayu, ada pepatah yang mengatakan kalau anda meminjamkan uang kepada orang melayu akan habis perkara, dia lupa bayar. Tapi kalau anda pinjamkan kata akan panjang cerita, itu sudah menjadi adat istiadatnya orang melayu, jadi orang melayu itu pandai berkisah. Karena saya benar-benar tak memiliki pendidikan sastra dan lebih parah lagi saya tidak suka membaca novel, sampai sekarang, hanya beberapa novel yang saya baca dan itu juga sangat selektif. Hanya kemampuan berkisah itulah yang saya manfaatkan dengan baik.

9. Tentang menjaga kualitas tulisan?
Kita mesti dapat membedakan pendekatan penulisan, ada orang yang menulis laporan dokumentasi apa adanya, biografi, memoar, dan adapula yang menulis sastra. Saya menulis fiksi dengan pendekatan non fiksi. Dramatisasinya ada tanpa memanipulasi fakta yang ada. Sistematika bab itu bagian dari penulisan sastra memoar dan pendekatan penulisan itu mesti dipahami. Sebab menulis sastra memoar mengandung interpretasi, unsur imajinasi dan tetap menjaga keotentikan kejadian itu. Di dalam kepala saya ini sudah ada sekitar sepuluh judul buku. Namun pada suatu ketika ada waktunya saya juga kekeringan ide, mampet dan bagi saya hal itu adalah siklus. Sastra layaknya merupakan sebuah pintu pandora untuk ilmu-ilmu lainnya, dimana jika satu pintu dibuka, akan ada pintu-pintu lainya. Di dalam sastra ada ilmu, riset, moral.


10. Menurut anda mengapa budaya membaca saat ini makin menurun ?
Saya merasa heran dengan apresiasi buku yang ada di Indonesia, banyak orang yang mengatakan kalau industri kita parah. Tapi taukah anda salah satu buku yang paling laris di Indonesia adalah buku The Davinci Code. Buku itu tidak mudah untuk dibaca dan memahaminya. Butuh ketelitian, mentalitas dan kerajinan membaca yang cukup besar. Itu membuktikan jika pembaca di Indonesia tidak bodoh, hanya karena penulis yang memproduksi buku itu-itu saja. Pembaca tidak memiliki pilihan lain karena yang ada buku begitu-begitu saja. Mereka membuat sebuah buku padahal memiliki literasi yang sangat rendah, mengusung isu yang superior yang nyaris tanpa substansi. Di satu sisi budaya audio visual itu terlalu cepat saat budaya literasi tidak mapan. Itu makin memper lemah minat baca. Solusinya adalah dari keluarga menanamkan cara membaca di rumah.

11. Bagaimana dengan penulis muda yang bermunculan?
Saya melihat sebagian penulis muda menulis hanya karena ingin dikenal. Karena menjadi orang terkenal itu adalah sebuah godaan yang sangat menggiurkan, kalau tidak kuat iman, menjadi orang terkenal itu bisa opurtinistik. Pada saat menulis semangat yang harus kita bangun yaitu menulis untuk mengisi diri sendiri. Cobalah untuk membuat 30 halaman dulu Kemudian masuk kepada diri sendiri, lalu pada orang lain dan menjustifikasi dengan pemikiran sendiri, menulis kalimat demi kalimat, itu dapat menceritakan siapa anda. Mengikuti lika-likunya cerita dan anda melihat gambaran seutuhnya karena pada saat itu anda telah menjai diri sendiri. Itulah esensi dari menulis. Jadi ketika anda menulis untuk menjadi terkenal, maka yang jadi tujuan agar buku yang ditulis laku di pasaran. Jadilah diri sendiri, kemudian menulis untuk substansi yang lebih luas. Bukan untuk sekadar pertimbangan industri. Misalnya menulis untuk buruh, tentang substansi pendidikan, substansi hak asasi manusia, tentang substansi penghormatan pada perempuan.

12. Nah, setelah membuat buku apa yang jadi progres sekarang?
Mengenai laskar pelangi, saya sangat tertarik dengan filmnya. Makanya buku ke empat juga belum selesai. Soalnya saat ini fokus pada film. Buku ini juga akan terbit di Eropa dan Amerika dalam bahasa inggris. Penerbitan di luar negeri makin membuat saya lebih tertantang. Saya merasa sangat senang, bukan karena motif best seller dan segala macamnya. Tapi buku ini mampu menceritakan kisah tentang kampung dan sebuah sekolah tua dengan seorang guru. Itu bukan tema yang populer, tapi bisa diterima oleh masyarakat.

13. Setelah masyarakat membaca, apakah laskar pelangi punya pengaruh?
Oh jelas, sekarang wartawan banyak yang datang dan mencari tokoh dalam kisah ini. Dan Ibu Muslimah, 11 November 2007 ini akan mendapat penghargaan nasional Aisiyah Award dari PP Muhamadiyah karena pengabdiannya. Selain itu, di kampung saya rencana untuk membuat learning centre mulai mengemuka dan mendapat respon. Saya pikir jika tiap orang terhinakan, terabaikan demikian lama. Namun kebenaran akan muncul, dan saya senang menjadi orang yang mengangkat kebenaran itu.



14. Harapan terhadap penulis muda?
Saya berharap akan banyak penulis yang menulis buku dengan genre semacam ini, tidak hanya saya. Semoga ada buku yang jauh lebih bagus dari penulis muda. Selain itu juga menulis buku-buku dengan tema-tema pendidikan. Pendidikan yang membebaskan.

NB. Biodatax mana? Korlip
Dedikasi Abadi Buat Seorang Guru

Berawal dari keinginan memberikan hadiah pada seorang ibu guru, maka tanpa rencana tetralogi Laskar Pelangi jadi novel inspiratif yang paling laris. Mengangkat kisah nyata dari kampung miskin di Belitung. Wilayah yang diambil alih perusahan timah. Meski begitu, semangat menempuh pendidikan tak pernah pudar, di tengah ketidakadilan korporasi, kemiskinan dan diskriminasi sosial. Laskar Pelangi tetap bertahan dengan keuletan, kejujuran, kesabaran, penuh dedikasi dan persahabatan yang tak pernah usang. Sebab, meyakini pendidikan mampu merubah dunia. Berikut kutipan Andrea Hirata kepada Ismawan as dari identitas Unhas. Minggu, 4 November 2007 lalu di Hotel Singgasana Makassar.

1. Ide apa yang melatarbelakangi pembuatan buku tetralogi laskar pelangi ini ?
Sebenarnya buku ini merupakan sebuah buku dedikasi yang sama sekali bukan untuk dimasukkan ke industri buku. Saya tak pernah berfikir akan menerbitkan buku ini dan memasukkan ke industri penerbitan.
2. Maksudnya ?
Karena awalnya buku ini hanya ditulis sebagai sebuah hadiah untuk guru saya. Namun, seorang teman mencuri drafnya dan memasukkannya ke penerbit bentang pustaka. Kemudian pihak penerbit itu menghubungi saya, terus terjadi proses editing dan tiga minggu kemudian buku ini jadi best seller. Saya tak menduga cerita yang berkisah tentang memoar dengan tokoh aku ini bisa sukses. Pasalnya, kisah yang subjeknya aku merupakan karya yang menentang arus pasar karena tak metropop. Sedang karya yang menguasai pasar itu saat ini adalah karya metropop dengan gendre ceklik.
3. Tadi draft itu dicuri, bagaimana kronologisnya?
Draft yang sudah saya ketik itu tersimpan di kamar dan siap untuk di kirim ibu guru saya yang ada di kampung. Tanpa sengaja naskahnya dibaca oleh teman saya, dan diam-diam dikirimkan ke penerbit. Dengan mengatasnamakan saya, begitulah sejarahnya laskar pelangi, dramatis, aneh.
4. Kenapa tiba-tiba anda menulis tentang tetralogi ini?
Jika membaca laskar pelangi maka akan diperoleh jawabannya. Kami belajar di sebuah sekolah yang tidak dipedulikan oleh siapapun. Sekolah ini terbentuk karena inisiatif pribadi dari ibu guru kami, seorang perempuan muda berusia 15 tahun yang masih anak-anak, hanya berijazah SKP yang setingkat SMP, dia membuat sekolah itu, dan menamainya sekolah Muhammadiyah. Kami hanya boleh sekolah di tempat itu karena tidak dapat sekolah di tempat yang lebih bagus. Sebab orang tua kami hanya bekerja sebagai kuli timah. Sedangkan yang bisa sekolah di tempat yang layak adalah anak dari pegawai perusahaan timah yang berpangkat. Saya dan teman-teman tak punya pilihan lain, makanya ini menyangkut sebuah substansi mendasar. Yaitu menyangkut keadilan dan menyangkut suatu substansi dimana sebuah wilayah tanah ulayat, wilayah tanah asli yang dieksploitasi oleh korporasi yg tidak memperdulikan nasib masyarakat yang mendiami daerah itu. Dan hal itu masih terjadi lho sekarang. Jangan-jangan masyarakat Dayak tak menikmati minyaknya Bontang atau orang Timika tak menikmati hasil dari PT Freeport. Inilah yang kami (saya dan teman-teman, red) alami ketika masih kecil dan menjadi flatform sosio kultural cerita laskar pelangi.

5. Mengapa berfikir memberi hadiah buku?
Hadiah ini memang saya niatkan ketika masih kelas 3 SD karena rasa kagum yang besar pada Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus, guru saya. Waktu kecil itu, saya meniatkan suatu hari akan membuat sebuah buku tentang beliau dan akhirnya sesudah dewasa baru kesampaian. Hal ini terjadi karena saya mendengar Bu Mus sakit keras. Nah, saat itulah saya membuatnya dengan cepat. Pasalnya saya takut terlambat tak bisa memberi hadiah pada guru saya itu. Akhirnya tanpa terasa buku ini selesai dalam tiga pekan.

6.. Kapan buku itu ditulis?
Saya menulis buku itu ketika saya pulang dari Aceh, saat jadi relawan bencana tsunami, di sana saya melihat sekolah hancur. Itulah titik awal dan pada saat yang sama ibu guru saya sakit, akhirnya saya berfikir segera menyelesaikan buku itu.

7. Mengapa anda memilih buku sebagai hadiah?
Motivasi memberikan sebuah buku karena saya berpikir buku itu tidak pernah mati, buku akan selalu ada seumur hidup. Di dalam buku itu pada dasarnya setting, adegan, deskripsi, dan karakter-karakter tokohnya, serta sekolah itu memang ada. Saya meletakkannya dalam flatfrom sosio kultural. Suatu wilayah yang mengalami ketidakakadilan, kompensasi tanah ulayat tak ada. Itu kan jadi menyedihkan, memiliki tanah di situ tetapi tidak bisa menikmati fasilitas yang memadai karena sistem yang tidak baik.

8.Anda kan tak pernah belajar sastra atau menulis cerpen, bagaimana buku ini bisa selesai?
Saya percaya sekali kalau sebuah komunitas memiliki karekternya sendiri. Saya ini orang melayu, ada pepatah yang mengatakan kalau anda meminjamkan uang kepada orang melayu akan habis perkara, dia lupa bayar. Tapi kalau anda pinjamkan kata akan panjang cerita, itu sudah menjadi adat istiadatnya orang melayu, jadi orang melayu itu pandai berkisah. Karena saya benar-benar tak memiliki pendidikan sastra dan lebih parah lagi saya tidak suka membaca novel, sampai sekarang, hanya beberapa novel yang saya baca dan itu juga sangat selektif. Hanya kemampuan berkisah itulah yang saya manfaatkan dengan baik.

9. Tentang menjaga kualitas tulisan?
Kita mesti dapat membedakan pendekatan penulisan, ada orang yang menulis laporan dokumentasi apa adanya, biografi, memoar, dan adapula yang menulis sastra. Saya menulis fiksi dengan pendekatan non fiksi. Dramatisasinya ada tanpa memanipulasi fakta yang ada. Sistematika bab itu bagian dari penulisan sastra memoar dan pendekatan penulisan itu mesti dipahami. Sebab menulis sastra memoar mengandung interpretasi, unsur imajinasi dan tetap menjaga keotentikan kejadian itu. Di dalam kepala saya ini sudah ada sekitar sepuluh judul buku. Namun pada suatu ketika ada waktunya saya juga kekeringan ide, mampet dan bagi saya hal itu adalah siklus. Sastra layaknya merupakan sebuah pintu pandora untuk ilmu-ilmu lainnya, dimana jika satu pintu dibuka, akan ada pintu-pintu lainya. Di dalam sastra ada ilmu, riset, moral.


10. Menurut anda mengapa budaya membaca saat ini makin menurun ?
Saya merasa heran dengan apresiasi buku yang ada di Indonesia, banyak orang yang mengatakan kalau industri kita parah. Tapi taukah anda salah satu buku yang paling laris di Indonesia adalah buku The Davinci Code. Buku itu tidak mudah untuk dibaca dan memahaminya. Butuh ketelitian, mentalitas dan kerajinan membaca yang cukup besar. Itu membuktikan jika pembaca di Indonesia tidak bodoh, hanya karena penulis yang memproduksi buku itu-itu saja. Pembaca tidak memiliki pilihan lain karena yang ada buku begitu-begitu saja. Mereka membuat sebuah buku padahal memiliki literasi yang sangat rendah, mengusung isu yang superior yang nyaris tanpa substansi. Di satu sisi budaya audio visual itu terlalu cepat saat budaya literasi tidak mapan. Itu makin memper lemah minat baca. Solusinya adalah dari keluarga menanamkan cara membaca di rumah.

11. Bagaimana dengan penulis muda yang bermunculan?
Saya melihat sebagian penulis muda menulis hanya karena ingin dikenal. Karena menjadi orang terkenal itu adalah sebuah godaan yang sangat menggiurkan, kalau tidak kuat iman, menjadi orang terkenal itu bisa opurtinistik. Pada saat menulis semangat yang harus kita bangun yaitu menulis untuk mengisi diri sendiri. Cobalah untuk membuat 30 halaman dulu Kemudian masuk kepada diri sendiri, lalu pada orang lain dan menjustifikasi dengan pemikiran sendiri, menulis kalimat demi kalimat, itu dapat menceritakan siapa anda. Mengikuti lika-likunya cerita dan anda melihat gambaran seutuhnya karena pada saat itu anda telah menjai diri sendiri. Itulah esensi dari menulis. Jadi ketika anda menulis untuk menjadi terkenal, maka yang jadi tujuan agar buku yang ditulis laku di pasaran. Jadilah diri sendiri, kemudian menulis untuk substansi yang lebih luas. Bukan untuk sekadar pertimbangan industri. Misalnya menulis untuk buruh, tentang substansi pendidikan, substansi hak asasi manusia, tentang substansi penghormatan pada perempuan.

12. Nah, setelah membuat buku apa yang jadi progres sekarang?
Mengenai laskar pelangi, saya sangat tertarik dengan filmnya. Makanya buku ke empat juga belum selesai. Soalnya saat ini fokus pada film. Buku ini juga akan terbit di Eropa dan Amerika dalam bahasa inggris. Penerbitan di luar negeri makin membuat saya lebih tertantang. Saya merasa sangat senang, bukan karena motif best seller dan segala macamnya. Tapi buku ini mampu menceritakan kisah tentang kampung dan sebuah sekolah tua dengan seorang guru. Itu bukan tema yang populer, tapi bisa diterima oleh masyarakat.

13. Setelah masyarakat membaca, apakah laskar pelangi punya pengaruh?
Oh jelas, sekarang wartawan banyak yang datang dan mencari tokoh dalam kisah ini. Dan Ibu Muslimah, 11 November 2007 ini akan mendapat penghargaan nasional Aisiyah Award dari PP Muhamadiyah karena pengabdiannya. Selain itu, di kampung saya rencana untuk membuat learning centre mulai mengemuka dan mendapat respon. Saya pikir jika tiap orang terhinakan, terabaikan demikian lama. Namun kebenaran akan muncul, dan saya senang menjadi orang yang mengangkat kebenaran itu.



14. Harapan terhadap penulis muda?
Saya berharap akan banyak penulis yang menulis buku dengan genre semacam ini, tidak hanya saya. Semoga ada buku yang jauh lebih bagus dari penulis muda. Selain itu juga menulis buku-buku dengan tema-tema pendidikan. Pendidikan yang membebaskan.

Assalamualikum

Assalamualaikum. adami blog baruku lg
 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic