Pendidikan di Pulau Kecil, Riwayatmu Kini

Saat sekolah, anak-anak pulau memilih bermain di dermaga
Tanggal 2 Mei setiap tahun diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Gegap gempita perayaan pendidikan nasional tersebut dilakukan secara serentak dari Sabang sampai Merauke. Seperti biasa pemerintah hanya melakukan upacara bendera yang sifatnya seremonial belaka. Sementara mahasiswa dan kaum buruh yang masih merasakan pendidikan sebagai barang yang mahal, melakukan aksi protes. Setiap tanggal 2 Mei, ramai-ramai mahasiswa se Indonesia turun ke jalan menyuarakan penolakan mereka terhadap rencana pemerintah melakukan liberalisasi pendidikan.

Gemerlap hari pendidikan akan diwarnai dengan seremoni. Pemerintah tanpa merasa malu mengklaim bahwa apa yang telah mereka lakukan sudah cukup baik untuk kemajuan nasional. Di setiap pertemuan, klaim bahwa kesuksesan dalam membangun pendidikan terus digumamkan.Anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20 persen, atau memberikan biaya secara gratis pada jenjang sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Sekolah Menengah Atas. Program yang juga dianggap sukses oleh pemerintah yakni program pemberian dana BOS.

Sehingga dalam perannya, secara umum apa yang dilakukan oleh kementrian pendidikan nasional untuk kemajuan sumber daya manusia dianggap sudah maksimal. Padahal sebenarnya pengelolaan dana BOS rentan terjadi penyimpangan di dalamnya. (Kasus dana BOs ) Gambaran keberhasilan pemerintah selalu mengacu pada kemajuan yang terjadi di kota. Amat jarang melihat kehidupan masyarakat kepulauan.
Pertanyaan yang mungkin sudah seringkali kita dengat yakni bagaimana nasib pendidikan anak-anak usia sekolah yang tinggal di daerah pulau. Apalagi mereka yang tinggal di pulau terluar dan pulau terpencil. Sejauh mana komitmen pemerintah memajukan atau meningkatkan taraf kehidupan siswa dalam menuntut ilmu. Sebab masyarakat pulau juga adalah warga Negara yang memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran yang layak.
Sementara pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang bisa mencerdaskan rakyat. Ironis memang, namun seperti itulah amanat undang-undang dasar 1945. Tapi, undang-undang hanya secarik kertas, dan tinta-nya pun tak mampu berbicara menegur sikap pemerintah yang abay terhadapa nasib masyarakat pesisir dan pulau. Dari data yang dirilis oleh BKKBN yang dinyatakan bahwa terdapat 11,7 Juta jiwa anak-anak putus sekolah. Keberadaan tersebut tersebar di seluruh Indonesia.
 Penulis mencermati, anak-anak pulau memberikan persentasi yang besar pada angka putus sekolah tersebut. Minimnya perhatian pemerintah pada proses blajar mengajar di kepulauan menjadi factor pemicu. Selain itu, keterbatasan siswa usia sekolah pada satu pulau juga membuat pemerintah berfikir dua kali untuk membuat sekolah di sana. Makanya seringkali kita temui, sekolah biasanya terdapat di pulau-pulau yang jumlah penduduknya lebih padat. Oleh sebab itu, anak-anak dari pulau seberang harus menggunakan perahu atau jolloro untuk ke sekolah. 
Itupun dengan susah payah dan mengikuti kondisi cuaca. Jika cuaca tak bersahabat, maka siswa pun tak bisa pergi bersekolah. Kejadiaan ini pernah penulis alamami saat akan melakukan penelitian di Selat Makassar. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan rombongan anak berseragam merah putih. Saat kutanya, salah satu diantara mereka mengatakan kalau mereka dari pulau seberang dan akan ke kecamatan untuk sekolah. Anak yang lebih besar, menjadi pemandu dan memegang kemudi agar segera sampai di daratan. Nasib mereka sungguh malang, apalgi dalam kondisi hujan, atau badai yang kadang tak berhenti, mustahil anak-anak itu berangkat sekolah

0 comments:

Post a Comment

ISI APA ADANYA

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic