MERAYAKAN KEABADIAN
Posted by
Berandamao
on Saturday, 30 October 2010
“Menulislah untuk sebuah keabadian”
Rasanya sudah lama sekali tak menulis, apalagi menggoreskan catatan perjalanan di ruang kecil ini. Setiap hari,Dari hati yang paling dalam ia berontak ingin menuangkan kata demi kata dari setiap langkahku. Namun, entah mengapa jemari ini begitu kuat untuk mengatakan tidak. Penolakan itu terjadi beberapa bulan hingga setahun lebih. Jadilah tahun 2009-2010 menjadi ruang kosong kreativitas dari menulis. Sedih rasanya. Oktober ini, keinginan itu kembali membuncah dan tak ada yang bisa menghalangiku. Jemari ini pun mulai setia, kembali bekerja menuliskan setiap apa yang aku ingin sampaikan.
Sejatinya aku tak berhenti menulis, setiap hari, setiap minggu, bulan yang terlewati selalu ada tulisan. Meskipun hanya menulis dalam pikiran, mendeskripsikannya secara detail dengan harapan suatu waktu bisa menjadi narasi yang indah. Kadang naluri ini seperti kehilangan sensitivitas, tak lagi sarat makna, dan kurang peduli terhadap realitas kehidupan ini. Semuanya terenggut oleh keinginan yang kuat untuk bisa belajar Bahasa Inggris di pelosok Jawa. Tepatnya di Desa Tulung rejo, Kecamatan Pare, kabupaten Kediri . Setiap harinya kuhabiskan waktuku bergelut dengan bahasa orang bule ini.
Aku menamaninya perjuangan melawan kebodohan dalam berbahasa. Sejak dulu, keinginan untuk pintar dan menguasai lingua franca ini sangat besar. Tapi selalu saja tak terwujud. Hari-hari belajarku dimulai dari dari pukul 04.00 subuh, dilanjutkan dengan kelas pagi, siang, sore hingga kelas malam sampai jam 22.00 malam. Sebagai orang awam, rasanya kepala ini mau pecah dan tubuh ini selalu berontak minta istirahat. Namun, begitu banyak harapan yang kubawa ke kampung ini mengalahkan semuanya. Harapan untuk bisa menjadi cerdas dalam berbahasa Inggris dan bisa menularkan pada orang lain. Kuakui ini tak mudah namun harapan orang-orang yang mendukungku selama ini begitu besar. Malu rasanya ketika suatu saat aku kembali, bahasa ini tak mampu aku kuasai dan aplikasikan. Ingin juga sebenarnya pulang dan bisa masuk zona nyaman seperti teman-teman lain. Namun, itu tadi, serasa malu jika ilmu ini tak bermanfaat. Apalagi harapan orangtuaku, keluargaku dan teman-teman yang sangat besar padaku, suatu waktu menjadi orang yang bisa membangun peradaban. Begitu banyak hal yang mesti aku korbankan. Makanya sejak meninggalkan Makassar, semua aktivitas sehari-hari aku fokuskan memelajari bahasa ini, mulai dari vocabulary, listening, speaking, pronounciation,dan reading.
Jelang November rasanya aku ingin memulai kembali mengabadikan diriku. Memotret setiap peristiwa dan menarasikannya dalam sebuah karya. Mengasah sensitivitas yang hampir hilang, mengikat makna, memerjuangkan kebebasan berfikir, mengabadikan setiap cerita, atau gambar dalam sebuah bahasa tulis. Mari merayakan keabadian.
Mammiri, 30 oktober 2010