KEPEMIMPINAN DAN INDONESIA BARU

Indonesia adalah negara yang berdaulat berdasarkan hasil proklamasi 1945. Menjadi negara merdeka dan bebas dari penjajahan asing adalah cita-cita luhur. Itulah yang mengilhami para pemimpin untuk memulai langkah baru menjadikan nusantara ini sebagai Indonesia. Kemerdekaan yang dirintis para Faunding Father bangsa ini merupakan sebuah langkan untuk membangun tatanan baru dalam keindonesiaan.

Sejarah mencatat bagaimana pola kepemimpinan para pendahulu kita untuk merintis terwujudnya sebuah indonesia. Lalu dengan keberanian para pemimpin itu kemudian berani meyatakan diri bebas dari belenggu penjajahan bangsa asing. Lihat saja Sukarno yang berani menolak masuknya neoliberialisme ke dalam bangsa ini.

Sekadar mengingat kembali akibat lemahnya pemimpin, 350 tahun lamanya bangsa ini berada dalam kungkungan bangsa asing. Penjajahan kompeni dan pemerintah Belanda pada masa itu menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaannya, kemandirian, kedaulatan politik, hukum dan ekonomi. Pasalnya, kebutuhan akan pasar rempah-rempah dan hasil bumi di Eropa, menuntut pihak perusahaan multinasional Vereenigde Ost-Indische Compagnie (VOC) untuk menguasai dan menguras bangsa ini. Pertanyaan mendasar adalah mengapa sebuah perusahaan mampu menjajah Indonesia. Jawabnya karena saat itu tidak semua raja atau penguasa melakukan perlawanan terhadap kaum imprealisme tersebut. Akibat dari penjajahan tersebut, secara struktur mental anak bangsa mengalami keruntuhan.


Memang kini Indonesia telah merdeka, namun permasalahan krisis kepemimpinan, kemiskinan, kesejahteraan rakyat, korupsi dan terbelakang dari bangsa lain menjadi catatan harian yang mengisi keseharian bangsa ini. Krisis kepemimpinan dan multidimensi yang berkepanjangan membuat jumlah rakyat miskin makin meningkat setiap tahun. Survey Bank Dunia menunjukkan penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6% dari jumlah penduduk 236,4 juta jiwa pada tahun 2007. Ironisnya, pada kondisi bangsa yang terpuruk saat ini, pejabat pemerintah membodohi rakyat dengan kebijakan kerjasama dengan luar negeri. Namun, hakekatnya adalah hutang yang membuat pemerintah menganggarkan pada APBN dengan nilai paling besar.

Bangsa ini adalah bangsa yang kaya. Sumber daya alam yang melimpah dengan keanekaragaman hayati nomor satu di dunia. Sumber daya hutan, tambang emas, batu bara, minyak, perikanan dan sebagainya. Bahkan, karena kekayaan alamnya, bangsa ini disebut sebagai megabiodiversity. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tersebut menarik minta asing untuk menanamkan modalnya. Indonesia kemudian menjadi surga emas pemodal asing. Maka beramai-ramailah pengusaha kelas dunia datang ke Indonesia. Lalu terjadilah perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. Landasan utamanya pun adalah kepentingan materi.

Terlebih lagi, cengkraman globalisasi yang disokong oleh Internacional Monetary Found (IMF) ,World Trade Organization (WTO) dan World Bank membuat negara dunia ketiga, termasuk Indonesia tidak berkutik. Merekalah yang menetukan arah kebijakan, memberikan hutang yang dikemas dalam bentuk bantuan, lalu mengucilkan negara yang berani melawan. Ketiga lembaga internasional dalam menjalankan programnya mengacu pada Konsensus Washington. Yang isinya mendukung perdagangan bebas, liberalisasi pasar modal, nilai tukar mengambang dan lain-lain. Pada intinya keberpihakan pada pasar dan kepentingan pemodal menjadi bagian penting dalam konsensus ini. Sampai 2009 ini utang sudah mencapai kurang lebih 1 trilyun. Artinya ini lebih besar dari prndapatan bangsa setiap tahun.

Korporasi asing pun berdatangan dan menanamkan investasi di Inodonesia. Kebijakan Presiden Soeharto saat Orde Baru berkuasa membuka pintu bagi pemodal asing secara lebar. Mulailah sumber daya alam bangsa ini dikeruk dan dikuasai oleh pihak asing. Misalnya saja ladang minyak, perusahaan sebesar Caltex mampu menguasai 70 % produksi minyak di Indonesia. Lalu dengan regulasi yang baru, pemerintah hanya mendapat 10 % ladang minyak dikelola. Sisanya untuk pihak swasta. Begitu pula yang terjadi di Blok Natuna, gas alam pada lokasi itu dikuasai 100 % oleh Exxon. Lucunya Indonesia hanya bisa gigit jari karena tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, kontrak karya Freeport yang dimulai tahun 1971 baru akan berakhir tahun 2041. Saat itu pemerintah hanya mendapat royalty 1-3,5 %, ditambah dengan pajak deviden. Jadi totalnya hanya 479 juta US$.

Freeport sendiri akan menerima 1,5 milyar US$. Penghasilan kotor dari emas 200.000 ons atau sekitar Rp 1,6 triliun sehari, Rp 48 triliun/bulan, Rp 576 triliun pertahun selama 50 tahun ke depan, akan melayang. Lain halnya dengan persoalan ilegal logging, ilegal fishing dan ekspor pasir ke Singapura. Dari pasir saja, negara dirugikan Rp 59 trilyun.

Kehilangan tanah negeri mungkin akan terjadi pada rakyat bangsa ini. Pasalnya pemerintah begitu murahan menjual kekayaan alam bangsa ini. Tak hanya itu, akibat privatisasi BUMN, Satelit Palapa, BNI 46, Garuda dan berbagai PTPN telah menjadi milik korporast asing. Perselingkuhan antara penguasa dan pemodal yang rela mengorbankan nasib rakyat bukan lagi hal lumrah di negeri ini. Apalagi pemerintah melalui undang-undang no 25 tahun 2007 dan peraturan presiden nomor 77 tahun 2007 membuka peluang asing untuk berinvestasi di negeri ini melalui kepemilikan modal. Misalnya saja pihak asing diberi kebolehan memiliki modal 95 % pada bidang energi dan sumber daya alam, bidang usaha, pekerjaan umum, dan sektor pertanian
Di saat kondisi bangsa yang sedang carut-marut seperti ini. Korupsi di gedung dewan masih merajalela.

Anggota dewan yang seharusnya dipercaya mewakili rakyat dan mengaspirasikan suara kaum papah tak banyak berbuat. Sama halnya dengan penegak hukum, saat kemiskinan semakin meningkat, milyaran rupiah habis dikorupsi demi kepentingan pribadi dan memuluskan para pemodal asing masuk ke bangsa ini. Jadi kita tak perlu heran jika Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia.
Persoalan Indonesian memang telah menjadi impian bangsa yang seutuhnya. Pasalnya penjajahan model bersenjata seperti zaman Belanda dulu kini tidak ada lagi. Melainkan lewat jerat kapitalisme global. Itulah yang mejadikan bangsa ini tak akan pernah merdeka. Lalu, apakah yang dibutuhkan oleh generasi bangsa untuk keluar dari penjajahan model baru tersebut. Keberanian, dan tidak menjadi budak – budak kekuasaan adalah salah satu jalan. Mungin bangsa kita akan menjadi bagian dari negara seperti Kuba, Argentina, Venezuela, Malaysia dan Chile yang berani melawan kepentingan negara adidaya dalam mengintervensi bangsanya.

Hal ini penting, sebab masa depan bangsa ini berada di tangan generasi muda yang memiliki kepemimpinan tangguh, kritis, dan optimis.

Berani Meretas jalan baru

Dengan permasalahan yang segudang tersebut, bangsa ini kemudian memerlukan jalan baru (poros perubahan) dan meretas sesuatu yang masih membelenggu. Dalam artian bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis yang berkepanjangan. Terkait dengan hal itu ini adalah momentum yang tepat untuk menjalin komitmen bangsa ini akan keluar dari krisis. Sebab pemilu presiden yang sedang berlangsung saat ini menjadi tolak ukur masa depan bangsa. Setidaknya lima tahun ke depan arah kebijakan pemerintah menghasilkan sesuatu yang bermanfaat buat bangsa. Momentum pemilihan presiden kali ini cukup berharga, pasalnya tiga calon yang maju pada pilpres mengusung visi misi yang berbeda. Meskipun pada dasarnya mengklaim untuk kesejahterakan rakyat.

Persoalan yang dihadapi bangsa ini seperti di atas menjadi semakin rumit dengan sikap para kandidiat calon presiden. Mereka lebih sibuk dengan mencari sensani dan saling sindir yang tak jelas juntrungannya. Sebenarnya rakyat tak berharap banyak dari janji-janji para calon. Sebab mereka juga belum tentu yakin akan janji tersebut akan ditepati. Namun keinginan untuk menjadikan indonesia negara yang betul-betul merdeka ada pada para calon presiden ini. Kita tahu Megawati-Prabowo datang dengan mengandalkan ekonomi kerakyatan dan membangun kesadaran rakyat melalui upaya menghapus UU BHP. Begitu juga dengan SBY-Budiono yang terus berupaya menghapus jejak atas isu antek neolib. Lalu ada juga Jusuf Kalla-Wiranto yang berupaya menarik simpati dengan isu kemandirian bangsa. Tidak menjadikan tangan di bawah melainkan tangan di atas.

Ketiga capres ini pada dasarnya setali tiga uang. Artinya apa, ada kesamaan yang tak bisa dipisahkan, yaitu sama-sama berjanji akan membawa indonesia ke jalan baru. Namun, mereka berada pada jalur yang berbeda. Pada siapa jalan baru tersebut kita percayakan. Hanya anda sendiri yang lebih tahu. Tapi yang pasti, untuk meretas jalan baru dan keluar dari belengggu bangsa kita butuh pemimpin yang berani. Hanya keberanian yang menjadikan seorang pemimpin ada. Setelah itu, mungkin kita baru merasakan indonesia baru yang seutuhnya.


Ismawan As
Aktivis Kammi

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic