UANG

Dalam tinjauan historis, pada mulanya uang adalah benda yang dipakai dalam proses pertukaran. Hal ini muncul setelah adanya kesulitan yang dialami oleh nenek moyang dalam barter, yaitu susahnya mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan dalam waktu bersamaan. Inilah yang mendorong manusia menciptakan kemudahan dalam pertukaran. Maka ditetapkanlah benda-benda tertetu sebagai alat tukar. Misalnya bangsa Romawi menetapkan garam sebagai alat tukar atau Inggris yang menyebut upah sebagai Salari yang berasal dari bahasa latih Salarium (garam).


Zaman pun makin berkembang, pertukaran barang dan jasa menuntut adanya benda yang lebih praktis lagi, disepakatilah uang sebagai alat tukar, meski tiap negara memiliki perbedaan dalam nilai alat tukar itu.

Kini, uang bukan hanya sebagai alat tukar, tapi merupakan sebuah alat yang bisa ‘membeli’ apa saja. Bahkan sebagian orang mengganggap uang bisa menggadaikan idealisme. Apatah lagi mahasiswa yang sedang mencari jati dirinya. Masyarakat kini makin terbuai oleh uang. Lebih radikal lagi sampai ada yang memuja-muja benda itu, hingga ungkapan uang sebagai “Tuhan” baru tak asing lagi kita dengar.

Masyarakat Indonesia tidak pernah berpikir panjang, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang (untuk negaranya), itulah ucapan Prof.Toshiko Kinoshita, Universitas Waseda Jepang (Kompas, 24 Mei 2002). Asumsi itu cukup beralasan, pasalnya masyarakat kita beramai-ramai mengejar dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Alhasil, fragmen-fragmen sosial dalam masyrakat makin besar. Terjadi kesenjangan yang besar antara penguasa, pemodal dan si miskin. Bukan hanya itu, individualistik pun makin menyebar di masyarakat.

***

Dalam konteks pendidikan, uang memiliki pengaruh yang cukup besar. Betapa tidak, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi terjadi ‘pungutan’. Akibatnya yang mampu menikmati pendidikan hanya golongan yang berpenghasilan menegah ke atas saja. Sedangkan yang penghasilannya rendah, jangan harap! Pun kalau ada, pendidikan yang ditawarkan adalah yang kualitasnya paling rendah. Sedangkan yang punya banyak uang, akan menikmati pelayanan pendidikan yang yahud.

Tuhan baru itu juga telah memasuki ranah kampus ini, adanya praktik “pungutan” di beberapa fakultas dapat jadi indikator. Adapula mahasiswa yang hanya membayar puluhan ribu untuk meluluskan mata kulianya. Ini pulalah yang membuat guru besar dan sejumlah birokrat Unhas berurusan dengan pihak berwajib. Prilaku dosen yang lebih mementingkan urusan proyek daripada mengajar, juga dipengaruhi oleh upaya menumpuk pundit-pundi ini. Walhasil, sarjana yang jumlahnya ribuan tiap tahun bisa jadi kapasitasnya ‘karbitan’.

Belakangan ini komersialisasi fasilitas kampus yang terjadi juga berujung pada uang. Ironisnya lembaga mahasiswa tak memiliki penghasilan untuk menyewa gedung di rumah sendiri. Jadi jangan heran jika mahasiswa memilih mencari tempat yang murah di luar kampus untuk pengkaderan.

Uang memang bisa membutakan hati, membuat segalanya jadi tak bermakna. Namun, haruskah kita terjebak dalam kemewahan yang ditawarkan oleh tuhan baru ini.

0 comments:

Post a Comment

ISI APA ADANYA

 

© Copyright berandamao . All Rights Reserved.

Powered By Blogger Thanks to Blogger Templates | punta cana dominican republic